MAKALAH
SEJARAH PERADABAN ISLAM
DINASTI UMAYYAH (661-750M)
DOSEN
PEMBIMBING: MARYDI, S.Hi, M.S.I
OLEH:
CHARIRIL LATIF
TANTINAH
EKO SUDARNO
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SULTHAN
SYARIF HASYIM (SSH)
TAHUN
AKADEMIK 2014/2015
Kata
pengantar
ASSALAMU’ALAIKUM
Alhamdu
lillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kita ilmu pemahaman terhadap agama Islam yang
mana ini adalah sebaik-baiknya nikmat, yang tidak ada bandingnya.
Sholawat
dan salam kita hadiah kepada Nabi
Muhammad SAW. Dengan perantara beliau kita dapat memetik manisnya ilmu.
Pemakalah
hanyalah orang-orang yang sedang belajar, jadi dalam suatu pembelajaran terjadi kesalahan itu wajar. Tapi kami pun
pada dasarnya sedang berusaha sebagai mana perintah guru atau pun dosen. Jadi
apabila dalam tugas kami yang masih banyak kesalahan ini mohon diperbaiki, dan
dikoreksi.
Mungkin
itulah sepatah kata yang dapat kami sampaikan kekurangan adalah hal wajar dalam
proses pembelajaran dan kami mohon dapat dimaklumi.
WASALAMU’ALAIKUM
Hormat
kami
(
Pemakalah )
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… I
DAFTAR ISI………………...………………………………………………….... I
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1
A. LATAR
BELAKANG……………………………………………….... 1
B. RUMUSAN
MASALAH………………………………………….... 2
C.
TUJUAN……………………………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………. 4
1.
Pendirian Dinasti Umayyah ………………………………………… 4
a.
Asal Mula Dinasti Umayyah …………………………………… 4
b.
Pemimpin-Pemimpin Dinasti Umayyah ……………………….. 7
2.
Pola Pemerintahan Dinasti Umayyah……………………………… 8
a)
Organisasi Politik ………………………………… 9
b)
Organisasi Tata Usaha Negara ……………………. 9
c)
Organisasi Keuangan ……………………………… 9
d)
Organisasi Ketentaraan (An-Nizam
Al-Harby)…. 10
e)
Organisasi Kehakiman ………………………….. 10
3. Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah………………………… 12
BAB
III PENUTUP……………………………………………………… 15
DAFTAR
PUSTAKA ……………………….…………………………… 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Sejarah peradaban islam yang sudah
terlahir sejak dilahirkannya Nabi Muhammad SAW di muka bumi bahkan sejarah para
nabi atau orang-orang shaleh yang telah ada sebelum Nabi Muhammad SAW, membuat
kita hidup dalam bayangan sejarah. Karena sejarah memiliki nilai penting dalam
lingkaran kehidupan manusia. Pengalaman adalah guru yang tidak pernah marah itu
sebuah kalimat yang punya arti kalau sebuah sejarah dapat menjadi sebuah
pelajaran kita dalam kehidupan ini. Dan itu tidak akan bisa dilepaskan dari
kehidupan manusia itu sendiri.
halnya sejarah yang menceritakan peradaban
islam pada saat Rasul diutus, dan para sahabat, tabi’in, dan juga para ulama’.
Semangat perjuangan mereka dalam menegakkan agama islam mestilah dapat kita petik pelajaran yang berharga.
Berakhirnya
kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang
berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang
masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah
dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan
dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk
pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan
turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter,
kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan
hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan
gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti
Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi
Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan
terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan
melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat
menguntungkan baginya.[1]
Jatuhnya
Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok
yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk
kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan
kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai
beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah,
namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah
diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41
H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam
menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola
pemerintahan menjadi kerajaan.
Meskipun
begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan
peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam
perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
Muawiyah adalah seorang khalifah
yang ikut andil dalam bagian sejarah kejayaan islam masa itu. Mesti kita,
sedikit banyaknya perlu kita kaji kesuksesannya dalam memimpin umat islam pada
saatnya. Supanya kita dapat mengambil pelajaran.
2.
Rumusan
Masalah
Dapatkah kita mengetahui sejarah
yang sudah lama berlalu? Kalau sejarah kemerdekaan negri ini mungkin baru 69
tahun. Tapi bagai mana sejarah Dinasti Umayyah yang sudah lebih dari 13 abad?
Mungkinkah kita dapat mempelajarinya? Apa yang terjadi pada saat Dinasti
Umayyah berkuasa?.
3.
Tujuan
Mempelajari sebuah sejarah mesti
ada yang ingin kita cari dari cerita sejarah itu, oleh sebab itu kami,
pemakalah ingin sedikit menyajikan sejarah kejayaan Dinasti Umayyah pada zamannya. Dan dapat kita ambil manfaat
dari mempelajarinya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pendirian Dinasti Umayyah
A.
Asal
Mula Dinasti Umayyah
Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan
kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi
Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan
itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau
menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh
besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta
pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada
tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan
pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat
menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat
oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah[2] ternyata ditentang oleh sekelompok
orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus,
Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat
sebagai sekretaris khalifah.
Dalam
suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke
Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti
berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan
Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan
konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada
pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini
terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman
bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di
Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M[3]. Muawiyah tidak menginginkan adanya
pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa
saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang
ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat
Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi
Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan
tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru
untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah
mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib
sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat
pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib
berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan
sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti
Kuffah, Bashra[4] dan Mesir.
Permohonan
atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga
datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah
mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah,
dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para
shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak
memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu
karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis
tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus
pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena
justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta
para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan
melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi
kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah
peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani
Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di
dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan
masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin
Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya
sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah
Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku
sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan
kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur
Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin
bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi
dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur
Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir,
Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin
Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan
mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam
nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara
massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi
atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan
ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin
Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah
Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah
untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat
menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga
khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan
khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang
diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah
bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib
tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa
segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah
Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam
menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.[1]
B.
Pemimpin-Pemimpin
Bani Umayyah
Setelah masa khalifah al-Rasyid berakhir,
fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh
Dinasti Umayyah. Dengan khalifah pertamanya Muawiyah bin Abi Sofyan.[2] pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib,
dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan
bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan
jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka
mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah
yang dimulai sejak terbunuhnyaUtsman
bin Affan, pertempuran Shiffin, perang
Jamal dan penghianatan dari
orang-orang Khawarij danSyi'ah, dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
pemerintahannya
di Madinah, dipindahkan oleh Mu’awiyah ke Damaskus.[3]
Mu’awiyah telah mencurahkan segala
tenaganya untuk memperkuat dirinya dan menyiapkan daerah Syria sebagai pusat
kekuasaannya dikemudian hari.[4]
Dinasti ini berkuasa selama 90 tahun dengan 14 orang khalifah:
1.
Muawiyah bin Abu Sofyan 661M s.d 680M
2.
Yazid bin Muawiyah 680M s.d 683M
3.
Muawiyah bin Yazid 683M s.d 684M
4.
Marwan bin Hakam 684M s.d 685M
5.
Abdul Malik bin Marwan 685M s.d 705M
6.
Walid I bin Abdul Malik 705M s.d 715M
7.
Sulaiman bin Abdul Malik 715M s.d 717M
8.
Umar bin Abdul Aziz 717M s.d 720M
9.
Yazid bin Abdul Malik 720M s.d 724M
10. Hisyam
bin Abdul Malik 724M
s.d 743M
11. Walid
II bin Yazid II 743M
s.d 744M
12. Yazid
III 744M
s.d 745M
13. Ibrahim
bin Walid II 745M
s.d 747M
14. Marwan
II bin Muhammad II 747M s.d
750M
Diantara empat belas khalifah
DinastiUmayyah hanya lima khalifah ang menduduki jabatan dalam waktu yang cukup
panjang dan memberi pengaruh pada perkembanga islam, yaitu;
1.
Muawiyah bin Abu Sofyan
2.
Abdul Malik bin Marwan
3.
Walid bin Abdul Malik
4.
Umar bin Abdul Aziz, dan
5.
Hisyam bin Abdul malik
Dengan
berdirinya daulah Umayyah, maka system politik dan pemerintahan
berubah.pemerintahan tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses
pergantian khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun
temurun. Seorang khalifah tidak lagi harus sekaligus pemimpin agama sebagaimana
khalifah pada sebelumnya. Urusan agama diserahkan pada ulama, dan ulama hanya
dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh khaifah.[5]
2. Pola Pemerintahan Dinasti Umayyah
Pada masa Dinasti
Umayyah kemajuan dibidang pemerintahan, antara lain dalam organisasi politik,
tata usaha Negara, keuangan, ketentaraan dan kehakiman.
a)
Organisasi Politik
Organisasi
politik dan administrasi pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah, meliputi jabatan
Khalifah (kepala Negara), Wizarah (kementerian), Kitabah (keseketariatan), dan Hijabah
(pengawal pribadi).
Kepala Negara memiliki
kekuasaan penuh untuk menentukan jabatan-jabatan dan jalannya pemerintahan. Wizarah,
memiliki tugas dan fungsi membantu atau mewakili khalifah dan melaksanakan
tugasnya sehari-hari. Kitabah bertugas membantu kelancaran pekerjaan Negara.
Oleh sebab itu, dibentuklah dewan seketariat, yaitu dewan al-Kitabah. Lembaga
ini membawahi Kathib ar-Rasa’il,yaitu
seketaris dalam bidang keuangan. Katib al-Jund, yatu seketaris militer. Katib
asy-Syurtah, yaitu seketaris bidang kepolisian. Dan Katib al-Qodi, yaitu
seketais dalam bidang kehakiman.
b)
Organisasi Tata Usaha Negara
Organsasi
tata usaha Negara pada masa Dinasti Umayyah, dibagi menjadi empat departemen,
yatu:
1.
Diwan al-Kharraj
Yaitu
departemen pajak yang bertugas mengelola pajak tanah di daerah-daerah yang
menjadi kekuasaan Dinasti Umayyah.
2.
Diwan Ar-Ras’il
Yaitu
departemen pos yang berkewajiban menyampaikan berita atau surat dari dan ke
daerah-daerah kekuasaan Dinasti Umayyah.
3.
Diwan Al-Musytagillat
Yaitu
departemen yang bertugas menangani berbagai kepentingan umum.
4.
Diwan Al-Khatim
Yaitu
departemen yang menyimpan berkas-berkas atau dokumen-dokumen penting Negara.
c)
Organisasi Keuangan
Dinasti
Umayyah tetap mempertahankan dan memakai lembaga keuangan, sebagaimana pada
masa khulafaur Rasidin. Sumber-sumber keuangan pada masa kekuasaan Dinasti
Umayyah berasal dari pajak tanah (kharraj) dari daerah-daerah taklukannya. Pada
masa Hisyam bin Abdul Malik, kharraj dikenakan pada setiap penduduk yang berada
dibawah kekuasaan Dinasti Umayyah. Tujuannya untuk mengatas kerisis keuangan
Negara yang banyak berkurang pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz.
d)
Organisasi Ketentaraan (An-Nizam Al-Harby)
Organisasi
ketentaraan pada masa Dinasti Umayyah merupakan kelanjutan dari upaya yang
telah dibuat oleh Khulafaur Rasyidin. Jika pada masa pemerintahan sebelumnya,
siapa saja boleh menjadi tentara. Pada masa Dinasti Umayyah , yang boleh menjadi
tentara hanya orang-orang Arab atau keturuanannya.
Perkembangan
lain yang yang terjadi pada masa Dinasti Umayyah adalah dibentuknya angkatan
laut, selain angkatan darat yang sudah ada sejak lama. Oleh karena itu, pada Dinasti
Umayyah terdapt sekitar 60.000 prajurit tetap dan sukarelawan.
e)
Organisasi Kehakiman (An-Nizam Al-Qadi)
Pada
masa Dinasti Umayyah, kekuasaan politik telah dipisakan dengan kekuasaan
pengadilan. Kekuasaan kehakiman pada masa itu dibagi menjadi tiga badan, yaitu:
Ø
Al-Qadhaa’
Yaitu
badan yang bertugas yang menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan
Negara.[6]
Menurut
Abu Bakr Jabi yang dikutip Dr. Alaidin Koto, M.A. dalam bukunya Sejarah Peradilan Islam “Qadhi mempunyai
tugas-tugas, yaitu:
1) Memutuskan perkara semua pihak yang
berpekara dalam semua tuduhan.
2) Mengalahkan orang zalim, membantu
orang yang berhak, membantu orang yang
dizalim dan memberihak kepada pemiliknya.
3) Melaksanakan hudud atau ponis dalam
darah dan luka.
4) Menangani pernikahan, talak, nafkah
dan sebagainya.
5) Mengelola harta orang yang belum
dewasa, seperti anak yatim, orang gila,orang yang tidak jelas perginya dan
orang yang mendapat hukuman al-hajru.
6) Memikirkan
kemaslahatan-kemaslahatan umum yang terjadi di wilayah kerajaan, seperti
jalan-jalan, fasilitas umum dan lain-lain.
7) Menegakkan amar makruf dan
mewajibkan manusia melakukannya, melarang dari kemungkaran, mengubahnya serta
menghilangkan bekas-bekas dari wilayah kerajaan.
8) Menjadi imam shalat jum’at dan
shalat hari raya.
Jadi al-Qadhaa’ merupakan tugas qadhi
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping
itu, badan ini juga mengatur intitusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang
cacat mental.[7]
Ø
Al-Hisbah
Yaitu
badan yang bertugas manyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana
yang memerlukan tindakan-tindakan cepat. Dan merupakan tugas al-Muhtasib
(kepala Hisbah). Menurut Al-Syaqathi dalam buku Fi Adaab al-Hisbah, seperti
yang dikutip oleh Pilip k. Hitty bahwa tugas al-Muhtasib selain memeriksa
takaran dan timbangan, serta ikut mengurusi kasus-kasus perjudiaan, seks
amoral, dan busana yang tidak layak di depan umum.[8]
Ø
An-Nada Fil- Mazhalim
Yaitu
mahkamah tertinggi atau mahkamah banding, semacam mahkamah agung di Indonesia.
Lembaga ini juga mengadili para hakim dan pembesar Negara yang berbuat salah.
3. Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah
Pada
periode ini kawasan islam makin meluas, ajaran islam semarak dan menyelinap
masuk ke hati rakyat. Islam sudah eksis di negeri Syam, Mesir, Sudan, Afrika
Utara, Kepulauan di Laut Tengah, Andalusia , dan negeri-negeri lainnya.
Perluasan dakwah dilakukan di tiga wilayah Asia Kecil dan Negeri Romawi,
kawasan Afrika Utara dan Andalusia, dan Kawasan Sind dan Negeri di Seberang Sungai.
Pada
masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan
menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah
mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan
kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Abdul
Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia,Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerahPunjab sampai ke Multan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada
zaman Al-Walid bin
Abdul-Malik.
Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban.
Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang
lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya,
benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi
selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan
mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita
akibat kekejaman penguasa.
Di
zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang
terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali
ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang
terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tanganIslam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan
keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah
itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.[9]
BAB III
PENUTUP
Bani
Umayyah telah menyediakan kisah hebatnya. Kami pemakalah hanya dapat
menyediakan apa yang ada. Makalah ini pastilah jauh dari kata sempurna, usaha
yang kami lakukan sudah sampai titik batasnya. Karena kami baru memiliki ilmu
yang pak dosen tahu sendiri letak kekurangannya.
Inilah
sajian makalah dari kami bila masih banyak yang kurang. Kami selaku pemakalah
meminta masukan berupa saran, kritik yang membangun atau ilmu apapun yang dapat
menambah wawasan kami.
Sekian
dari kami wassalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Koto, Alaidin. Sejarah
Peradabaan Islam. (Jakarta: PT.Rajagrafindo persada, 2012).
Ilaihi, Wahyu,dan Hefni, Harjani, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta:
Kencana. 2007)
gogle
[1]
gogle
[2] Aladi
Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta:
PT. Raja GrafindoPersada, 2012), hal. 77.
[8] Ibid
no. hal. 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar