Senin, 11 Mei 2015
SEPIRO GEDENE SORO YEN DINEMPO ATI IKHLAS AMUNG BAKAL DADI CUBO: logo bem stai-susha
SEPIRO GEDENE SORO YEN DINEMPO ATI IKHLAS AMUNG BAKAL DADI CUBO: logo bem stai-susha
SATUKAN HATI DENGAN JIWA
studi asia tenggara
MATERI
KULIAH
STUDI
ISLAM ASIA TENGGARA
SEJARAH
ISLAM ASIA TENGGARA
Materi
:
1.
Pengantar Kuliah
a. Pengertian Sejarah, Metode
memahami Sejarah
b. Ruang lingkup Studi Islam Asia
Tenggara dan Sumber Bacaan
c. Kontrak belajar
2.
Sejarah pra-Islam Asia Tenggara
a. Priode Perkembangan animisme dan
Dinamisme
b. Priode perkembangan Hindu dan
Budha
3.Teori
masuknya Islam, Islam berkembang dan mempengaruhi Kelembagaan di Asia tenggara.
a. Melalui Gujarat.
b. Melalui Persia
c. Melalui Mekkah
d. Melalui Bengali
4.
Kebangkitan Islam di Asia tenggara
a. Pengertian Kebangkitan
b. Tipe-tipe kebangkitan dan sumber
kebangkitan
c. Karakteristik dan fenomena
kebangkitan Islam.
5.Islam
di Indonesia fase Kerajaan-kerajaan pada abada XIII s/d XX M.
a. Kerajaan-kerajaan Islam di
Sumatra
b. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
c. Kerajaan-kerajaan Islam di
Kalimantan dan Sulawesi.
6.
Islam di Indonesia fase Kolonialisme
a. Islam zaman kolonial Belanda
b. Islam zaman kolonial Jepang
c. Perjuangan untuk mendapatkan
kemerdekaan.
7.
Peran ormas Islam dalam pemurnian Islam zaman kolonial.
a. Alasan-alasan pentingnya
pemurnian Islam.
b. Tokoh-tokoh awal pemurnian Islam
c. NU, Muhammadiyah, Persis, dan
Sarikat Islam (SI).
8.
Islam di Indonesia fase kemerdekaan
a. Islam dan Orde Lama
b. Islam dan Orde Baru
c. Islam dan Orde Reformasi
9.
Islam di Malaysia
a. Sejarah Masuknya Islam
b. Islam fase kemerdekaan
c. Nasionalisme Melayu di Malaysia
10.
lanjutan Islam di Malaysia
a. peran UMNO memperjuangkan
kebangkitan Islam.
b. Peran PAS memperjuangkan
kebangkitan Islam
11.Islam
di singapura
a. Sejarah Masuk dan berklembangnya
Islam
b. Peranan majlis Ugama Islam
Singapura (MUIS).
c. Model pendidikan Islam di
Singapura
12.
Islam di Brunei
a. Sejarah Masuk dan berklembangnya
Islam
b. Konsep Melayu Islam Beraja (MIB).
c. Sistem legalisasi mazhab
13.
Islam di Thailand
a. Masuk dan berklembangnya Islam di
pattani, Naratiwat, Yalla dan Setul
b. Perjuangan Melayu muslim
memperoleh otonomi.
c. Peranan Haji Sulong.
14.
Islam di Filipina.
a. Sejarah Masuk dan berklembangnya
Islam
b. Perjuangan bangsa Moro memperoleh
kemerdekaan atau otonomi.
c. Karakteristik perjuangan Kelompok
MLF, MNLF, MILF dan Abu Sayyap
15.
Islam di Indocina
Sejarah masuk dan berkembangnya
Islam di Myanmar, Kamboja, Laos dan Vietnam
Sumber
Kepustakaan:
1.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara abad ke XVIII, Mizan Bandung
2.
Saiful Muzani, Pembangunan dan kebangkitan Islam Asia Tenggara, LP3ES.
3.
Taufik Abdullah, dkk, Tradisi Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, LP3ES
4.
Harry J. Benda, Bulan sabit Matahari Terbit, LP3ES, Jakarta.
5.
Husein Muthalib, Islam dan Etnisitas, LP3ES, Jakarta
6.
Deliar Noer, Islam di Indonesia, 1900-1942, LP3ES, Jakarta
7.
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Thailand, LP3ES, Jakarta
8.
Abd. Ghofur, Handout SIAT
9.
Abd. Ghofur, Jurnal Kutub Kanah, Annida, Ushuluddin, thn 2001 s/d 2008
PENGERTIAN
SEJARAH
Sejarah adalah cabang ilmu yang
mempelajari peristiwa-peristiwa atau kejadian yang telah terjadi masa lampau
dalam rentang waktu yang lama atau singkat.
1. Objek material sejarah adalah
semua jenis sumber sejarah yang bisa disaksikan secara empirik sebagai
kesaksian sejarah.
2. Objek formal sejarah adalah
perubahan atau apa yang terjadi dalam dimensi waktu lampau.
Objek studi sejarah tidak lepas dari manusia, tetapi
bagaimanapun juga manusia mempunyai keterbatasan pengetahuan tentang dirinya,
terutama tentang masa lampaunya . hal ini sebagai akibat dari sifatnya yang
selalu beranggapan “yang sudah, ya sudah” (lets gone be by gone). Sifat yang
demikian melahirkan akibat dan tindakan yang membiarkan sesuatu yang telah
terjadi berlalu tanpa catatan , sehingga kita mengalami kesukaran untuk
memperoleh informasi masa lampau yang akurat. Karena itu perlu kerangka
berpikir yang kritis.
Karakteritik
berfikir sejarah yang perlu diperhatikan menurut Broudle adalah :
1. Berfikir adducive, adalah dengan
cara mengajukan pertanyaan kritis terhadap persoalan-persoalan dan memberikan
jawabannya dengan argumen sejarah yang dikuatkan dengan bukti-bukti faktual,
sehingga penjelasannya tepat dan akurat.
2. Berfikir kronologis yaitu adanya
berfikir dengan kesadaran waktu (sense of time) dalam melihat gejala, apapun
objeknya – Alat kontrolnya ada tiga perbedaan waktu antara masa lampau, masa
sekarang dan masa akan datang – Skala penetapan waktu bisa model progresif
(dari awal ke akhir), atau regresif (akhir ke awal).
3. Ketercakupan sejarah (historical
comprehension) yaitu kemampuan untuk memahami pelbagai aspek lahiriyah dan batiniyah
dalam menangkap gejala sejarah.
4.
Kemampuan melakukan riset sejarah. Yaitu melalui empat tahap.
a. Heuristik (mencari dan menemukan data)
b. Kritik sumber – kritik ekstern
yaitu pengujian otentisitas pisik. – kritik intern yaitu menguji kesahiban (realibilitas) isi
informasi sejarah.
c. Sintesis dan mengintegrasikan data dalam unit analisis
sejarah kritis.
d. Penulisan sejarah yang kritis.
5.
Analisis isu-isu sejarah dan pengambilan keputusan.
a. mengidentifikasi isu-isu dan masalah kesejarahan.
b.menyusun bukti-bukti faktual dan
mengidentifikasi faktor-faktor kontemporer
yang memiliki sumbangsih terhadap masalah.
c. mengevaluasi pelaksanaan keputusan yang diambil.
SIAT adalah mempelajari sejarah
masuknya Islam di negara-negara ASEAN yang terdiri dari Negara Indonesia,
Malaysia, Brunei, Singapura, Philipina, Thailand dan kawasan Indochina. Di
samping itu kajian ini diperdalam untuk menelaah perkembangan Islam di negara
tersebut dimulai sebelum merdeka dan sesudah merdeka. Pengkajian yang lebih
mendalam difokuskan dalam perbandingan antara negara-negara yang mayoritas
muslim dan minoritas muslim, yang memiliki corak dan format yang berbeda antara
satu negara dengan negara lain.
Harry J. Benda
membagi wilayah Asia Tenggara ke dalam tiga wilayah kultural, yaitu :
a. Kawasan yang disebut Indianized
Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah diIndiakan (Indonesia)
b. Kawasan yang disebut Sinicized
Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah diCinakan (Vietnam)
c. Kawasan yang disebut Hispanized
Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah diSpanyolkan (Philipina)
SEJARAH
PRA ISLAM DI ASIA TENGGARA
Masyarakat
(nenek moyang) orang Melayu datang ke wilayah Asia Tenggara menurut para ahli
sejarah digolongkan kepada :
1. Proto Melayu (melayu pertama atau
melayu tua) datang lebih awal sekitar 3.000 – 2.500 SM . Diperkirakan
masyarakat ini telah menjadi suku asli, suku laut, talang mamak, suku sakai,
dan suku-suku lain yang hingga kini tidak mampu atau tidak mau menyesuaikan
diri dengan kebudayaan melayu muda. Karena dari negeri asalnya, semula masih
kebudayaan zaman batu (3.500 SM – 2.000 SM) dan tradisi hidup yang
berpindah-pindah.
Mereka umumnya generasi yang masih
mempertahankan paham animisme (percaya kepada kekuatan gaib pada benda-banda
tidak bergerak), dan paham dinamisme (percaya kepada kekuatan gaib pada
benda-benda).
Ciri-ciri kelompok masyarakat proto
melayu antara lain ; sikap masyarakatnya yang sangat tertutup pada hal-hal baru
juga pada orang lain; suka berpindah-pindah (nomaden); mata pencarian bertumpu
sebagai pengumpul bukan pengolah; mobilitas masyarakatnya rendah; kental
mempertahankan adat dan tradisi dan sistem kepercayaan yang sinkretik (bercampur
baur).
2. Deutro Melayu (melayu gelombang
kedua atau melayu muda), mereka datang dari daratan Asia menuju ke berbagai
penjuru Asia tenggara dimulai kira-kira 300 – 250 SM. Generasi deutro melayu
ini dari negeri asalnya (Austronesia) telah membawa peradaban baru bukan lagi
zaman batu namun sudah memasuki tahap zaman perunggu dan zaman besi (2.000 SM –
400 SM). Sehingga ketika datang dan berbaur dengan suku-suku lain di wilayah
yang baru dihuni suku terakhir ini mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan
baru yang berkembang saat itu, termasuk ketika kedatangan penyebar agama Hindu,
Budha dan Islam.
Ciri-ciri masyarakat deutro melayu
antara lain : siap menerima perubahan atau hal-hal baru; berorientasi ke masa
depan; mampu mengontrol dan mengendalikan alam sekitar; punya perncanaan dalam
hidup; punya sikap optimisme dan tidak menyerah pada alam; dan membutuhkan
informasi atau pengalaman.
Perkembangan agama
Budha pesat ketika dimotori oleh lahirnya kerajaan Melayu terbesar yaitu
Sriwijaya di sumatra sekitar abad ke- 7 – 11 M. Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha
lewat bahasa Sansekerta ke dalam bahasa dan budaya masyarakat melayu begitu
banyak, karena berlangsung selama 500 tahun.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa juga punya andil
besar dalam mengembangkan dua agama tersebut (lebih khusus Hindu), sehingga
mampu menyatukan wilayah Nusantara dalam satu kekuasaan. Tidak heran bila agama
Hindu-Budha berkembang ke sebagian besar penjuru Nusantara.
Memasuki abad ke-12
M, Kerajaan Sriwijaya mulai surut, bila dilihat dari sudut ekonomi dan politik.
Hal ini diperburuk dengan lahirnya Kerajaan Singosari (di Jawa) melakukan
ekspedisi Pamalayu (1275 M). keadaan ini mendorong daerah-daerah di bawah
kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri dari pusat kekuasaan, sehingga pusat
perdagangan berpindah, yaitu semakin berkembang di perairan Malaka. Pedagang
Cina, India (Gujarat) bahkan Timur Tengah berdatangan untuk mengadakan
transaksi dagang rempah-rempah dan hasil hutan lainnya di wilayah itu.
Van Leur menegaskan, berdasarkan
hasil perjalanan Sulaiman dan Marcopolo, diperkirakan sejak tahun 674 M ada
koloni Arab yang sudah berdagang ke Barat Laut Sumatera. Meskipun jalinan
dagang sudah terjadi jauh setelah Islam lahir, namun – menurut Taufik Abdullah
– belum ada bukti bahwa penduduk pribumi yang disinggahi pedagang muslim itu
telah memeluk agama Islam, dan kelompok yang beragama Islam masih dari pedagang
muslim pendatang yang menunggu musim pelayaran tiba.
Kerajaan Majapahit,
sebagai pelanjut Kerajaan Singosari menunjukkan ketangguhan, sampai-sampai
sebagian besar wilayah Nusantara mengakui dan tunduk di bawah perlindungannya,
terutama saat diperintah oleh Raja Hayam Wuruk (w. 1389 M)) dan patihnya Gajah
Mada (w. 1364 M). Namun sepeninggal kedua tokoh tersebut muncul goncangan dari
dalam negeri (perebutan kekuasaan antara Vikramawardana dengan Wirabumi),
sedangkan serangan dari luar muncul dari kerajaan-kerajaan kecil Islam yang
berusaha membebaskan diri dari kungkungan pusat.
Abad ke-13 M, mulai
muncul persentuhan antara penduduk Deutro Melayu dengan pedagang muslim Arab,
Persia dan India, lalu proses Islamisasi berjalan dengan mulus, hingga pada
akhirnya lahirlah kerajaan Islam pertama, yaitu Kerajaan Samudera Pasai di
Aceh. Raja pertama kerajaan ini adalah al-Malikul Saleh, sedang rajanya yang
terkenal adalah Sulthan Iskandar Muda dan Sulthan Iskandar Tsani. Kerajaan
Samudra Pasai mengembangkan kekuasaannya sampai ke Semenanjung Malaka,
Pariaman, Tiku dan Palembang, hingga masuk ke pantai utara Jawa. Pada tahun 1511
M Malaka jatuh ke tangan Portugis hal ini menambah mata rantai penting bagi
pedagang untuk pindah ke wilayah Aceh.
Di wilayah Jawa
memang sudah terjadi proses Islamisasi pada abad ke 11 – 12 M, namun berjalan
dengan lamban akibat masih mendominasinya kekuasaan Majapahit. Hal ini terlihat
dari beberapa bukti sejarah, seperti makam Fatimah binti Maimun di Leran Gersik
Jawa Timur.
TEORI
MASUKNYA ISLAM DI ASIA TENGGARA
Untuk menjelaskan masuknya Islam di wilayah Asia Tenggara,
pertama sekali perlu dibahas tentang masuknya Islam ke Indonesia, yaitu Teori
tentang daerah asal pembawa Islam ke Indanesia. Sejarawan Azyumardi Azra
menyatakan ada tiga asal masuknya Islam ke Indonesia yaitu Mekah, Gujarat, dan
Benggal. Berbeda dengan A.M. Suryanegara ia mengemukakan yaitu dari
Mekah,Gujarat dan Persia.
1. Teori Gujarat : Pijnepel (1872 M)
adalah orang yang mengemukakan pertama sekali, ini berdasarkan perjalanan
Sulaiman, Markopolo dan Ibn Batutah, dilanjutkan dengan dukungan Snouck
Hurgronye dengan alasan : pertama,kurangnya fakta yang menjelaskan peranan
bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara, kedua,hubungan dagang
antara Indonesia-India telah lama terjalin; ketiga, Inskripsi tertua tentang
Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan dagang antara
Sumatra dan Gujarat. Sejarawan pendukung teori ini antara lain Stutterheim,
Schriekie (Indonesian Sociological Studies), Clifford Geertz (The Religion of
Java), Harry J.Benda (A History of Modern South East Asia) Van Leur (Indonesian
Trade and society), T.W. Arnold (The Preaching of Islam).
2. Teori Mekkah : Tahun 1958 M,
muncul kritikan terhadap teori pertama, seperti tokoh Hamka dalam acara Dies
Natalis IAIN ke-8 di Yogyakarta. Kemudian mendapat kritikan juga dalam seminar
di IAIN medan, tentang “Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia”, di perkuat
seminar yang sama di Aceh 10-16 Juli 1978 M, yang diikuti oleh Indonesia,
Malaysia, India, Australia dan Prancis. Sejarawan Barat yang sependapat teori
ini adalah Crawfurd (1820 M), Keyzer (1859 M), Veth (1878 M).
Alasan kuat teori ini menurut Hamka
adalah bahwa Gujarat hanya sebagai tempat singgah, sedangkan Mekkah atau Mesir
adalah sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Ia juga mendasarkan bahwa
mazhab terbesar yang dianut sebagian umat Islam Nusantara adalah Mazhab Syafii
dan mazhab yang sama dianut di Mekkah masa itu, alasan ini jarang diungkap
sejarawan Barat masa awal.
Alasan lain dikemukakan oleh S.M.N.
al-Attas bahwa sebelum abad ke-17 M. seluruh literatur keagamaan yang relevan
tidak mencatat satu pengarang pun muslim India atau berasal dari India. Penulis
yang dipandang Barat sebagai berasal dari India terbukti berasal dari Arab atau
Persia. Termasuk penggunaan gelar Syarif, Said, Muhammad, Maulana juga identik
dengan asal Mekah.
Kemudian bukti lain adalah pada tahun 1297 M
Gujarat masih berada dibawah naungan kerajaan Hindu, setahun kemudian baru
ditaklukkan tentara muslim.
3. Teori Persia : Teori ini
dipelopori oleh Hoesin Djajaningrat dari Indonesia, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia
berasal dari Persia abad ke-7 M. Teori ini memfokuskan tinjauannya pada
sosio-kultural di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang ada kesamaan dengan
di Persia. Diantaranya adalah perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia,
dan berkembangnya ajaran Syekh Siti Jenar, ada kesamaan dengan ajaran Sufi
al-Hallaj dari Iran Persia.
Hamka menolak teori ini dengan alasan, bila Islam masuk abad
ke-7 M. yang ketika itu kekuasaan dipimpin Khalifah Umayyah (Arab), sedangkan
Persia belum menduduki kepemimpinan dunia Islam. Dan masuknya Islam salam suatu
wilayah, bukankah identik langsung berdirinya kekuasaan politik Islam.
Pembawa ajaran Islam
ke Wilayah Nusantara adalah terdiri dari para pedagang dan para sufi. Kemudian
mereka berinteraksi dengan penduduk pribumi dalam jangka pendek (sambil
menunggu musim pelayaran) untuk berpindah ke negara asal atau negara lain.
Dalam jangka panjang saudagar yang pernah datang ke Nusantara atau yang belum
mulai bermukim berbaur bahkan melangsungkan perkawinan dengan penduduk pribumi.
Dari perkawinan ini lahir komunitas baru, terutama di pesisir-pesisir pantai.
A.H. Johns menjelaskan sukar dipercaya bahwa para pedagang
muslim sekaligus berfungsi sebagai penyebar Islam. Jika memang mereka aktif
dalam penyiaran Islam, mengapa Islam baru kelihatan abad ke-12 M. padahal jauh
sebelumnya (abad ke-7 dan 8 M) para pedagang sudah berinteraksi dengan pribumi.
Tidak ada bukti pada abad itu terdapat penduduk pribumi dalam jumlah besar
masuk Islam.
Azyumardi Azra setuju dengan A.H. Johns, tetapi dengan
alasan bahwa yang menjadi penyebar Islam adalah para sufi pengembara sekaligus
berprofesi sebagai pedagang yang berperan utama dalam syiar Islam. Keberhasilan
para sufi dalam syiar Islam lebih disebabkan dalam menyajikan Islam menggunakan
kemasan yang atraktif, yaitu menekankan kesesuaian Islam dengan tradisi lama
atau kontinuitas, ketimbang perubahan drastis dalam kepercayaan dan praktik
keagamaan lokal (Hindu dan Buddha). Di samping itu para sufi suka menawarkan
pertolongan, misalnya menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita rakyat dan
mengimbangi ilmu magis yang berkembang dalam masyarakat.
Anthony Reid
mengungkapkan bahwa konversi massal masyarakat Melayu kepada Islam terjadi
berbarengan dengan apa yang disebutnya sebagai ‘masa perdagangan’ (the age of
commerce), masa ketika Asia Tenggara mengalami ‘trade boom’ (abad 15-17) karena
meningkatnya posisi Nusantara dalam perdagangan Timur-Barat. Van Leur
menjelaskan terjadinya konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam karena
adanya perubahan politik di India. Pada waktu itu kekuasaan Brahmana telah
runtuh dan digantikan oleh kekuasaan Islam Mongol (1526). Lebih lanjut Van Leur
menegaskan bahwa motivasi bupati pantai utara Jawa memeluk Islam bertujuan
untuk mempertahankan kedudukannya. Pada saat ini, para bupati menjadikan Islam
sebagai instrumen politik untuk memperkuat kedudukannya. Hal ini memberikan
indikasi bahwa Islam pada masa itu telah tersebar ke seluruh pelosok nusantara
dan telah menjadi agama rakyat. Kota-kota di wilayah pesisir muncul dan
berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Pada masa
inilah bahasa Melayu memainkan peranan yang penting dalam kegiatan perdagangan
dan dakwah Islamiyah, sehingga menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa lingua
franca di nusantara. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa masa-masa ini tidak hanya
mengantarkan wilayah Melayu ke dalam internasionalisasi perdagangan, tetapi
juga kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat kawasan
ini pada masa sebelumnya.
Anthony Reid
menyebutkan ada beberapa faktor penting yang menyebabkan terjadinya konversi
massal masyarakat melayu kepada Islam pada masa perdagangan, yaitu :
A.Portabilitas sistem keimanan
Islam. Sebelum kedatangan Islam, sistem kepercayaan lokal, yang berpusat pada
penyembahan arwah nenek moyang, tidaklah portable, tidak siap pakai dimana pun,
tidak berlaku dalam semua kondisi.
B. Asosiasi Islam dengan kekayaan.
Bisa dipastikan, masyarakat lokal di wilayah Melayu pertama kali bertemu dan
berinteraksi dengan orang Muslim pendatang di wilayah pesisir atau pelabuhan.
Mereka adalah pedagang-pedagang muslim yang kaya raya.
C. Introduksi kebudayaan literasi
yang relatif universal bagi penduduk wilayah ini. Faktor ini telah sering
dikemukakan banyak ahli. Bahkan Al-Attas telah menyimpulkan bahwa pengenalan
kebudayaan literasi ini telah memunculkan semangat rasionalisme dan
intelektualisme, bukan saja di kalangan kerajaan atau Istana, tetapi juga di
kalangan rakyat jelata.
Al-Attas merangkum
beberapa teori yang diajukan oleh sarjana barat tentang cepatnya Islam diterima
di kawasan Asia Tenggara, teori-teori itu dapat dirumuskan sebagai berikut ;
(1)
faktor perdagangan membawa Islam ke
kepulauan ini.
(2) faktor pedagang-pedagang,
pegawai-pegawai yang kawin dengan penduduk lokal (bukan Islam), faktor ini
dipandang lebih mudah terjadinya proses pengislaman di kalangan masyarakat.
(3) faktor permusuhan antara
orang-orang Islam dengan Kristen yang mempercepat penyebaran Islam, terutama
pada abad ke-15 dan ke-17.
(4)
faktor politik yang dianggap sebagai
motif dan mudahnya penyebaran Islam.
(5) faktor penghargaan nilai
ideologi Islam dianggap lebih rasional bagi memeluknya.
(6) faktor otoktoni, atau keadaan di
mana sesuatu itu dianggap telah ada, sejak purbakala sebagai kepunyaan atau
sifat kebudayaan suatu masyarakat. Di sini faktor otoktoni diwakili oleh
tasawuf yang dipandang banyak mengandung persamaan dengan kepercayaan lama. Dan
faktor inilah yang dianggap memudahkan penerimaan agama Islam di kalangan masyarakat
atau penduduk lokal.
Jasa para sufi dalam
mengIslamkan wilayah Melayu cukup besar, hal ini ditandai berkembangnya
tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-6 dan ke-7. Mukti Ali menegaskan
bahwa keberhasilan pengembangan Islam di Indonesia adalah melalui tarekat dan
tasawuf. Kartodirdjo menjelaskan bahwa faktor yang turut mendorong proses
Islamisasi di Indonesia ialah aliran sufisme atau mistik yang melembaga dalam
tarekat-tarekat. Beberapa wali mencampurkan ajaran Islam dengan mistik,
sehingga timbul suatu sinkretisme. Mereka bersedia memakai unsur-unsur kultur
pra-Islam dalam menyebarkan agama Islam. Lewat kesasteraan suluk dengan mudah
diadakan penyesuaian tentang konsep dan gambaran mengenai hidup yang telah
berakar dalam kebudayaan pra-Islam. Kalau pada tahap awal proses Islamisasi
adalah fenomena kota, kemudian lewat sufisme dan tarekat penyebaran Islam
meliputi daerah pedesaan. Tarekat-tarekat Qadiriyah, Naqsabandiah, Syatariyah
tersebar luas di Sumatera dan Jawa.
“Islam datang” ke
Asia Tenggara menurut S.M.N. Al-Attas, Fattimi, Hasyimi dan Hamka pada abad
ke-7 dan 8 M. “Islam Berkembang” abad ke-13 M. ke sebagian wilayah Nusantara.
Sedangkan “Islam menjadi kekuatan politik” memasuki pada abad ke-15 M. setelah
tumbangnya Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
KEBANGKITAN
ISLAM DI ASIA TENGGARA
Kebangkitan Islam
(Islamic Resurgence) menurut Candra Muzaffar merupakan suatu gerakan yang
mengacu pada pandangan dari umat Islam bahwa Islam menjadi penting kembali,
Islam dikaitkan dengan masa lalunya yang gemilang hingga masa lalu tersebut
mempengaruhi pemikiran kaum muslimin sekarang; Islam dianggap sebagai kekuatan
alternatif memperbaiki kondisi umat. Candra berpendapat bahwa kebangkitan Islam
sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 M. dan awal abad ke-20 M. dengan
tokoh-tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani, Moh. Abduh, Rasyid Ridha, dan
lain-lain hingga berpengaruh sampai di kawasan Asia Tenggara.
Istilah lain yang
memiliki kesamaan, tetapi berbeda dalam penerapan adalah al-Tajdid atau
al-Islah, yaitu pembaruan untuk merekonstruksi pemahaman terhadap aspek-aspek
dalam ajaran Islam, seperti tasawuf, kalam, syariah, dan sebagainya.
Tokoh-tokohnya, seperti; Syah Waliyullah (1703); Syayid Ahmad (1752-1831); Muh.
Abdul wahab (1703-1787); Mohd. Abduh(1849-1905) dan Jamaluddin al-Afghani
(1838-1897).
Pembaruan atau kebangkitan Islam memfokuskan perhatiannya
pada persoalan keagamaan intern umat Islam. Ia tumbuh dalam lingkungan dimana
praktik-praktik keagamaan “tradisional” berpengaruh di lingkungan umat seperti
taklid pada pendapat ulama, praktik tarekat yang banyak mengkultuskan wali,
praktik sebagian umat yang banyak mengkeramatkan benda-benda atau tempat
tertentu, berkembangnya paham Islam sinkretis, khurafat, tahayul dan praktik
bid’ah. Semua praktik tersebut dipandang kelompok revivalis atau pembaru (Wahabi)
sebagai bid’ah dan menyimpang dari al-Quran dan Hadits. Kelompok pembaru lebih
menekankan Ijtihad, agar keluar dari kungkungan yang jumud dan mandeg.
Corak kebangkitan
Islam di Asia Tenggara itu sebagian kalangan membagi ke dalam tiga model, yaitu
:
1. Modernisme tahap berikutnya
berubah menjadi neo-modernisme dengan tokoh-tokohnya, Jamaluddin al-Afhani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan tokoh-tokoh neo-modernisme, seperti Fazlur
Rahman.
2. Revivalisme tahap berikutnya
berubah menjadi neo-revivalisme dengan tokoh-tokohnya : Muhammad bin Abdul
Wahab, di Indonesia dilanjutkan oleh 3 haji di Minangkabau, yaitu ; H. Sumanik,
H. Piobang dan Tuanku Nan Renceh. Generasi baru atau neo-revivalisme
dilanjutkan oleh kelompok salafi.
3. Tradisisonalisme tahap berikutnya
berubah menjadi neo-tradisionalisme dengan tokoh-tokohnya, seperti Sayyid
Muhammad Naquib al-Attas.
Karakteristik kebangkitan Islam tiga pola itu bisa dicermati
berikut ini ;
Modernisme;
lahir karena adanya pertemuan antara nilai-nilai Islam dan peradaban Barat;
pemanfaatan akal dan paham liberalisme pemikiran yang terus dikembangkan;
penelusuran kembali ilmu-ilmu filsafat baik yang bersumber dari Yunani maupun
Islam termasuk berkembangnya paham muktazilah; pentingnya mengembangkan ijtihad
dan menggali ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat.
Revivalisme,
Pentingnya mengembangkan ijtihad agar keluar dari taklid terutama bertumpu pada
fiqih; anti pada perkembangan intelektualisme yang berakar dari Barat dan kalam
atau theologi (ibnu Sina); kembali kepada al-Quran dan Hadis dan kembali kepada
pemahaman Islam zaman Rasul dan Khulafaurrasidin; mengapresiasi berkembangnya
taswuf Suni (Amali) tetapi melarang berkembangnya tasawuf falsafi atau Syi’i
(Ibnu Arabi).
Tradisionalisme, lahir karena punya pandangan bahwa manusia
sekarang berada diambang kehancuran karena sudah jadi objek materi, karena itu
perlu menanamkan diri dalam spirit pengalaman transendental dalam praktik
keagamaan seperti tasawuf (estetik) bahkan tarekat; mengapresiasi berkembangnya
tasawuf Amali (sunni) dan tasawuf Falsafi (syi’i) dan juga tarekat;
mentoleransi kesesuaian antara adat istiadat yang berkembang di masyarakat
dengan nilai-nilai Islam yang bersumber dari Quran; pentingnya mengembangkan
ijtihad.
Sedangkan kelompok
pembaharu awal di kawasan Nusantara antara lain : Hamzah Fansuri, Syamsuddin
al-Sumatrani (w. 1630), Nuruddin al-Raniri (w. 1658), abdul Rauf Singkili (w.
1694).
Hamzah Fansuri – hidup pada masa pemerintahan Alaiddin
Riayat Syah (1589-1604) – dan Syamsuddin al-Sumatrani – hidup papa masa
Kesultanan Syah Alam (1604-1614) – adalah Syaikh Islam atau tokoh ulama di
lingkungan Kerajaan Aceh Darussalam. Keduanya adalah sama-sama ulama tasawuf
yang menyebarkan tarekat Wujudiyah dan tarekat Qadiriyah.
Sebagian ulama ada yang mencap bahwa faham yang dikembangkan
oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani sebagai aliran sesat. Sedangkan
Abdul Aziz Dahlan dan Naquib al-Attas tetap menganggap aliran tarekat ini tidak
sesat dan tetap dalam koridor ajaran Islam.
Nuruddin al-Raniri
adalah tokoh sufi tarekat Aydarussiyah, Qadiriyah dan Syaziliyah. Ia juga
adalah mufti di Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Tsani
(setelah regenerasi dari Sultan Iskandar Muda). Kedudukan mufti ini ia
manfaatkan untuk mengkritik ajaran wujudiyah yang telah dikembangkan kepada
sultan untuk membunuh dan membakar buku-buku yang dikembanagkan taraket
wujudiyah, hal ini terungkap dalam buku Nuruddin, Bustan al-Salatin.
Abdul Rauf
Al-Singkili adalah pengembang tarekat Syatariyah di Indonesia. Ia dikenal
sebagai tokoh ulama pembaru yang evolusioner (jalan damai) dengan meluruskan
fatwa Nuruddin, dan dengan tidak melakukan tindakan pembunuhan pada kelompok
paham wujudiyah. Bahkan ia menjadi mufti di bawah kesultanan yang dipimpin
seorang ratu secara berurutan yaitu ; Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675); Nur
Alam Naqiatuddin; Zaqiyatuddin dan Qumala Dewi. Kepiawaian Abdul Rauf mampu
menghapus aliran sesat tanpa menggunakan kekerasan, dengan cara menyadarkan
penganutnya.
Bila melihat gerakan
kebangkitan Islam abad ke-20 M, agak berbeda format gerakannya, bukan lagi
terfokus pada merekonstruksi sistem pemahaman ajaran Islam, tetapi salah
satunya kelompok neo-revivalis, suatu gerakan yang muncul sebagai reaksi para
modernis klasik yang menurut hemat mereka telah terbaratkan (westernized).
Dalam beberapa hal tuduhan itu ada benarnya bila mengacu pada pemikiran
beberapa tokoh modernis, seperti Ahmad Khan (Indo-Pakistan) dan Thoha Husein
(Mesir). Mereka (modernis) seringkali menafsirkan al-Quran dalam konteks hanya
untuk membenarkan pandangan atau temuan barat. Kemudian mengklaim bahwa apa
yang ditemukan barat, khususnya di bidang Sain dan teknologi punya dasar kuat
dalam Islam. Kelompok modernis muslim klasik sering dipandang apologetik dalam
memahami Islam dan hubungannya dengan peradaban barat.
Kelompok neo-modernisme yang dimotori oleh Fazlur Rahman,
menentang paham kelompok neo-revivalisme dengan mengusung model baru, yaitu
meneruskan semangat modernisme dengan gaya baru. Rahman berpendapat bahwa
persoalan kontemporer yang dihadapi umat harus dicari penjelasannya dari
tradisi, dari hasil ijtihad para ulama sebelumnya hingga sunnah, yang merupakan
hasil penafsiran al-Quran. Bila dalam tradisi tidak ditemukan jawabannya sesuai
dengan tuntutan masyarakat kontemporer, maka langkah selanjutnya adalah
menelaah konteks sosio-historis dari ayat al-Quran yang dijadikan sasaran
ijtihad.
Dari pemaparan sekilas tentang pembaharuan atau kebangkitan
Islam muncul masalah pokok, yaitu : Pertama, siapa yang memprakarsai
kebangkitan itu; Kedua, apa karakteristik yang dominan; Ketiga, faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan munculnya kebangkitan itu; Keempat, apa reaksi yang
muncul dari kebangkitan, dan Kelima, apa arti penting kebangkitan itu bagi umat
Islam
ISLAM DI INDONESIA FASE KERAJAAN ABAD XIII S/D ABAD XX
Fakta sejarah telah
membuktikan bahwa di Sumatra Utara (Aceh sekarang) pada paruh kedua abat 13 M
para penguasa kerajaan Samudra Pasai telah menganut Islam. Kerajaan ini terus
berkembang hingga akhirnya dirubah dengan nama kerajaan Banda Aceh Darussalam, berkembang
pesat hingga memasuki perlawanan dengan penjajah Belanda dan Jepang. Kerajaan
ini adalah dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Berbeda dengan di Jawa khususnya Jawa Timur di mana pada
abad ke 13 penguasa raja masih beragama Syiwa dan Buddha di Singasari dan
Kediri, yang pada akhirnya menjadi ibu kota Majapahit. Meskipun demikian pada
abad itu pemeluk Islam yang menetap di sana besar kemungkinan sudah ada,
mengingat jalan perdagangan laut yang menyusuri pantai laut Sumatera melalui
laut Jawa berkembang terus. (De Graaf : 18).
Salah seorang penyebar Islam terkenal dan tertua diantara
para wali adalah Raden Rahmat putra seorang da’i Arab di Campa dari Ngampel
Denta (Surabaya). Raden Rahmat kemudian diangkat sebagai pemimpin para wali
dengan gelar Sunan Ampel. Disebutkan juga penyebar Islam kuno lain yaitu
Maulana Iskak di Blambang ; Jumadi Kubro di mantingan ; Nyampo di Domas; Dada
Petak di Gunung Bromo (mereka semua bersaudara). Sedang Maolana Iskak memiliki
anak Sunan Giri. Bersamaan itu pula terdapat makam wali lain Maulana Malik
Ibrahim di Gersik tahun 1419 M, ia disebutkan punya peran penting dalam proses
Islamisasi di tanah Jawa termasuk beberapa kali berusaha membujuk raja
Hindu-Budha Majapahit Vikramavardana berkuasa (1386-1429M) agar masuk Islam
(Pigeaud : Literature ; 783 dan Azyumardi : Jaringan Ulama; 30).
Abad ke-17 M. Islam
telah tersebar ke sebagian besar penjuru Nusantara. Khusus di Aceh, tokoh-tokoh
atau ulama penyebar Islam di kerajaan Aceh Darussalam yaitu ; Hamzah Fansuri ;
Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630) ; Nuruddin ar-Raniri (w.1658) dan Abdul Rauf
Singkili (w. 1694). Dari wilayah Kerajaan Palembang bisa disebut tokoh utama,
yaitu Abdul Samad al-Palimbani (w.1778), termasuk tokoh Syihabuddin bin
Abdullah Muhammad ; Kemas Fakhruddin ; Kemas Muhammad bin Ahmad dan Muh.
Muhyiddin bin Syihabuddin.
Di Kalimantan Selatan penyebar Islamnya Muhammad Arsyad
al-Banjari dan Muh. Nafis al-Banjari. Di Sulawesi (kerajaan Gowa) terdapat
Muhammad Yusuf al-Maqossari dan Abdul Wahhab al-Bugisi. Dari Batavia (Jakarta)
terdapat Abdurrahman bin al-Masri al-Batawi dan dari Pattani (Thailand Selatan)
ada Daud bin Abdullah al-Fatani. Di Kesultanan Sulu Philipina penyebarnya
adalah Syarif Aulia Karim al-Makhdum dari Malaka (1380), berdasarkan silsilah
kerajaan Sulu, ia adalah ayahnda dari Maulana Malik Ibrahim – salah seorang
wali songo – (Gajah Nata ; 174).
Di Kerajaan Aceh
Darussalam puncak kemajuan dan kemakmuran pada masa pimpinan Sultan Iskandar
Muda, terutama dalam bidang agama, ekonomi dan perdagangan di timur barat. Di
bidang politik, kerajaan ini melakukan ekspansi kekuasaan hingga ke Deli (tahun
1612 M), Johor (1613 M), Bintan (1614 M), selanjutnya secara berturut-turut
menaklukkan Pahang (1618 M), Kedah (1619 M), dan Nias (1624/1625 M). demikian
dijelaskan oleh Nuruddin ar-Raniri dalam karyanya Bustanus al-Salatin.
Bidang keagamaan, puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam
menurut Nuruddin ar-Raniri terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Sultan mengangkat Hamzah Fansuri sebagai mufti dan penasehat kerajaan, kemudian
digantikan oleh Syamsuddsin al-Sumatrani. Pada masa itu Nuruddin ar-Raniri
masih tinggal di Pahang (kini negeri bagian Malaysia) menggambarkan bahwa
sultan adalah sosok yang berusaha dengan sungguh-sungguh menegakkan kehidupan
agama, memberantas minuman keras, perjudian, menjalankan hukum agama sesuai
dengan fatwa mufti, memberi sedekah kepada fakir miskin dan membangun banyak
masjid, termasuk memberi dukungan penuh para ulama untuk mengadakan pembaruan pemikiran
keagamaan dan menyebarkan dakwah Islam.
Dalam abad ke-17 M.
tersebut di Aceh muncul empat orang ulama besar sebagai pemrakarsa pambaharuan
pemikiran Islam dan menjadi mufti atau penasehat sultan. Ulama tersebut adalah
:
1. Hamzah Fansuri ; ia menjadi mufti
pada saat Sultan Alaidin Riayat Syah memerintah antara tahun 1589-1602 M.
2. Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630)
; ia menjadi mufti pada saat Sultan Iskandar Muda memerintah tahun 1603-1637 M.
3. Nuruddin ar-Raniri (w.1658) ; ia
menjadi mufti pada saat Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Tsani
memerintah tahun 1637-1641.
4. Abdul Rauf Sinkili (w. 1694). ia
menjadi mufti pada saat Sultanah Safiatuddin Tajul Alam; Nurul Alam
Naqiatuddin; Zaqiatuddin dan Qumala Dewi memerintah antara tahun 1641-1675 M.
ISLAM
DI INDONESIA FASE KOLONIAL
(BELANDA DAN JEPANG)
Umat Islam di
Indonesia pada fase penjajahan Belanda dan Jepang mengalami penderitaan yang
luar biasa berat. Hal di sebabkan oleh kebijakan penjajah yang di berlakukan
bagi masyarakat pribumi. Kebijakan yang di buat kedua penjajah ini terdapat
perbedaan.
Kebijakan yang di buat Belanda lebih bersipat diskriminatif,
yaitu melihat status sosial dalam masyarakat, sering menekan bahkan kadang
berusaha menghapus atau menyingkirkan. Diantara kebijakan diskriminatif yang di
Buat Belanda yaitu adanya Asosiasi pendidikan; Ordonasi guru; ordonasi
kebudayaan, Haji, ordonasi sekolah liar, ordonasi perkawinan dll.
Menurut Syafii Ma’arif kebijakan Belanda ada dua prinsip.
Pertama, bersikap toleran, netral dan akomodatif apabila aktifitas yang
dilakukan umat Islam yang berkaitan dengan hal keagamaan, peribadatan, sholat,
haji, puasa, zakat dll. kedua, menggunakan kekerasan dan kekuatan militer
apabila umat Islam melakukan aktifitas yang menyentuh masalah politik baik di
area sosial kemasyarakatan atau pendidikan. Dalam hal ini Belanda berusaha
memisahkan “aktifitas agama” dan “aktifitas politik”. (A. Syafii Ma’arif :
Islam Kenegaraan…, 20).
Kebijakan yang dibuat
Jepang dalam kaitanya dengan umat Islam lebih bersifat longgar dan demokratis.
Karena tujuan utama mereka adalah berambisi untuk memenangkan peperangan
menguasai Asia Raya, dikenal slogan (Nipon cahaya Asia; Nipon pelindung Asia
dan Nipon pemimpin Asia). Jepang menyebut dirinya sebagai “Saudara Tua” rakyat
Indonesia. (Syafii Ma’arif; 97). Dalam hal-hal tertentu pemuka umat Islam
diberikan kekuasaan dan keleluasaan mengembangkan agamanya; menyamakan jenis
sekolah untuk mendapatkan bantuan, termasuk kebijakan yang berkaitan dengan
Kantor Urusan Agama (shumuka); Masyumi; PETA; dan Hizbullah.
Namun dari realitas yang terjadi, kebijakan itu ternyata
memiliki kesamaan tujuan yaitu bagaimana mengekploitasi dan mempolitisir umat
Islam dan kekayaan bumi Nusantara.
Kebijakan Belanda yang diterapkan di Indonesia
antara lain :
1. Asosiasi Pendidikan (kebudayaan) : artinya semua
peraturan penjajah di daerah jajahan menyerupai dengan di negeri penjajah, atau
pembudayaan budaya penjajah melalui jalan pendidikan dan pengajaran.Tujuan
asosiasi ini untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan negeri
penjajah. Politik ini berupaya menyatukan masyarakat Indonesia (pribumi) dan
Belanda (non-pribumi) bisa hidup berdampingan tetapi pribumi yang
ter-Belanda-kan. Kebijakan ini dicetuskan oleh ilmuan Belanda Snouck Hurgronye.
2. Ordonansi Guru : artinya
Peraturan Undang-Undang yang mengatur ketentuan tentang guru diterbitkan
sebanyak dua kali tahun1905 dan 1925 M.
a. isi ordonansi guru 1905 : a).
guru agama harus meminta izin mengajar secara tertulis pada bupati; b) izin itu
bisa diberi bila guru tersebut dinilai baik karena mengungkapkan sifat
pendidikan, membuat daftar hadir siswa, modelnya sesuai kehendak Belanda. C).
Guru bisa dihukum penjara 8 hari/f.25 bila mengajar tanpa izin atau lalai
mengirim daftar materi dan siswa. d). izin bisa dicabut bila guru melanggar
peraturan.
b. Isi Ordonansi guru 1925 : tetap
memberlakukan isi ordonansi pertama, dengan tambahan atau perubahan bentuk
perizinan tertulis menjadi pemberitahuan saja, bila guru lalai membuat laporan
atau memberitahu maka dihukum 1 bulan kurungan atau denda f. 22. (f=frank
gulden)
3. Ordonansi Sekolah Liar :
dikeluarkan tahun 1932 yang isinya a). lembaga pendidikan sebelum memperoleh
izin tertulis dari pemerintah tidak dibantu biayanya oleh pemerintah dan tidak
dibenarkan memulai aktivitasnya. b). hanya lulusan sekolah pemerintah atau
sekolah swasta bersubsidi yang dinilai baik oleh pemerintah berhak mengajar di
sekolah ini. c). ordonasi sekolah liar tidak berlaku bagi sekolah agama. (Aqib
Suminto :61).
4. Ordonansi Haji 1859 : Belanda
mengeluarkan aturan haji dengan diperketat persyaratanya, karena mereka
khawatir akan banyaknya pemberontakan lagi yang dilakukan umat Islam melawan
Belanda tokohnya didalangi oleh para haji seperti: pemberontakan di Kalimantan
Selatan 1859; pemberontakan petani Banten 1888; pemberontakan Haji Ripanghi di
Jawa 1859. Tetapi ordonansi haji ini jelas bertolak belakang dengan sikap
Belanda yantg netral agama.
Sebelum melakukan
invasi melawan Belanda, sebenarnya telah ada upaya pihak Jepang mendekati umat
Islam, seperti tahun 1935, melalui konsulatnya mereka memprogandakan pendirian
majalah Islam; mengirim 4 orang mahasiswa Jepang, memperdalam Islam di Arab dan
Mesir; 1938 pendirian mesjid besar di Jepang dan Perserikatan Islam Jepang,
organisasi ini melakukan aktivitas perdananya dengan mengundang orang Islam di
seluruh dunia menghadiri pameran Islam di Tokyo dan dari Indonesia dihadiri
oleh MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia).
Kebijakan Jepang yang pernah diterapkan di Indonesia setelah
invasi militer atau penaklukan Belanda tanggal 8 Maret 1942 antara lain :
1. Kantor Urusan Agama : dibagi dua
; a). Shummuka bertugas mempelajari aktifitas dan upacara keagamaan, hukum
Islam dan kebudayaan Islam. b). Kantotuka, bertugas mengurus tempat ibadah dan
mengatur hubungan dengan pemimpin agama. Lembaga ini juga berfungsi mengangkat
pegawai bidang agama, mengawasi buku-buku agama. Tetapi seluruh pegawainya
adalah orang Indonesia (pribumi), kepala kantor pertama adalah Kolonel Horie,
dan setelah itu dipimpin oleh DR. Hosen Djajadiningrat.
2. Masyumi (Majlis Syuro Muslimin
Indonesia) federasi yang dibentuk oleh para ulama dibawah kontrol dan dukungan
Jepang tanggal 1 Desember 1943. Masyumi dibentuk karena Jepang telah
membubarkan organisasi ulama MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) Oktober 1943
karena alasan aktivitasnya menentang pemerintah kolonial Belanda atau Jepang,
akhirnya dikhawatirkan membelokkan “anak panah” ke Jepang sendiri. Pemimpin
pertamanya, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dari NU. meskipun sebagian umat Islam
memandang negatif akan Masyumi saat Jepang berkuasa, namun keberadaannya sangat
diperhitungkan pada akhir pendudukan Jepang dan era kemerdekaan sebagai partai
politik besar.
3. PETA : pembentukan Pembela Tanah
Air (PETA) resmi berdiri tanggal 3 Oktober 1943 atas dukungan penuh Jepang.
Pemimpinnya banyak dari kalangan Islam, baik dari Daidanco (Komandan batalion);
Cudanco (Komandan Kompi); maupun Syuydnco (Komandan Pleton). Ketua Daidanco
adalah M. Kasman Singodimejo (Muhammadiyah).
Tujuan pembentukan PETA ini bukan
untuk menciptakan persatuan, tetapi agar kerjasama Jepang dengan umat Islam
lebih mudah, dengan kata lain, Jepang telah memiliki tentara pribumi. Tujuan
pembentukan itu adalah menanamkan semangat Nipon; menumbuhkan loyalitas ulama
kepada Jepang; meyakinkan kebencian ulama pada sekutu; perang Asia Timur Raya
adalah perang suci; dan menumbuhkan keyakinan Jepang dan Indonesia adalah satu
nenek moyang dan satu ras (Ahmad Mansur Suryanegara : 261).
4. Hizbullah : (tentara Allah) lahir
September 1944 atas dukungan dan izin Jepang. Hizbullah ini adalah unit militer
bagi pemuda Islam yang direncanakan Jepang sebagai korps cadangan bagi PETA
tetapi di bawah naungan organisasi Masyumi.
Tujuan pembentukan ini karena Jepang
mulai mengalami kekalahan, baik dalam negeri maupun adanya pemberontakan dari
pondok pesantren. Ketua pertama adalah Zainal Arifin (NU) yang lain Mohammad
Roem; Cokroaminoto;Prawoto dan Yusuf Wibisono. Namun pada akhir pendudukan
Jepang, PETA dan Hizbullah ini terlibat langsung dengan sengit melucuti tentara
Jepang, sebelum akhirnya menyerah kalah. Dua lembaga ini setelah merdeka
melebur dengan TNI.
PERANAN
ORMAS ISLAM DALAM PEMURNIAN ISLAM DI INDONESIA ZAMAN KOLONIAL
Untuk membahas bagaimana peran organisasi Islam dalam
kiprahnya menyebarluaskan pemurnian ajaran Islam, maka dibawah ini dikemukakan
terlebih dahulu alasan perlunya pemurnian Islam yang menjadi perdebatan antar
kelompok ormas tersebut antara lain :
1. Merebaknya pemahaman agama yang
bersifat taklid yaitu penerimaan fatwa dan amal perbuatan yang diakui sebagai
sesuatu yang tidak dapat berubah lagi di kalangan umat Islam. kemudian ada
anggapan dari sebagian ulama bahwa pintu ijtihad sudah tertutup sehingga
kreatifitas umat Islam terbelenggu. Ijtihad adalah usaha dan daya yang
sungguh-sungguh untuk menemukan tafsir atau pendapat tentang suatu persoalan.
2. Dikalangan umat Islam sedang
berkembang tarekat-tarekat seperti Naqsabandiyah, Syatariyah, Kadiriyah,
Sanusiayah dll. Masing-masing tarekat itu memliki jaringan sampai kepada
seorang Syekh di Timur Tengah. Sehingga dalam praktek ajarannya sampai pada
pengikutnya dilakukan meniru apa yang dilakukan dan diajarkan gurunya, tanpa
mengacu pada sumber –sumber lain atau guru/mursid lain. Tarekat atau jalan itu
dimaksudkan akan mampu memberikan jalan atau cara bagi pengikutnya untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedudukan seorang guru/mursid sangat penting.
Kedudukan itu tergambar dalam berwirid yang mengharuskan si murid mengenang
Tuhan dengan mengingat sang Guru. Sehingga guru bertindak sebagai perantara.
Ini merupakan yang bertentangan dengan Islam menurut versi pembaharu, karena
dalam Islam tidak mengenal perantara (wasilah) dalam berhubungan dengan Allah.
3. Masalah lain yang menjadi
perdebatan antara kelompok pembaharu dengan kelompok tradisional adalah masalah
Ushalli, bagi kelompok tradisional itu perlu disebutkan, sedangkan bagi kaum
pembaharu tidak perlu disebutkan atau dilafalkan.
4. Masalah talkin mayit, bagi
pembaharu talkin itu adalah bid’ah dan bagi kaum tradisi talkin itu dibolehkan.
5. kemudian perdebatan lain adalah
sekitar bacaan basmalah dalam sholat perlu dikeraskan atau dipelankan; masalah
Qunut menurut pembaharu nabi hanya melakukan disaat krisis perang; sedang
kelompok tradisi mengikut mazhab Syafii yang menunnahkan dalam shalat subuh;
kemudian masalah tarawih; Dua azan dan zikir.
Adapun tokoh-tokoh pembaharu paling awal pada zaman itu
adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabui. Ia adalah imam besar masjid Al-Haram
di Mekah. Ia tidak pernah pulang ke kampung halaman karena sistem pertama, adat
warisnya yang tidak mau berubah. Kedua, menentang sistem tarekat yang
berkembang saat itu. Pemikiran Ahmad Khatib banyak disebarluaskan oleh para
muridnya seperti Syeikh Muhammad Jamil Djambek; Haji Abdul Karim Amrullah (Haji
Rasul); Haji Abdullah Ahmad; KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah); Sulaiman
Ar-Rasuli dan KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU). Dua tokoh terakhir masih menganut
sistem tradisi atau tidak sejalan dengan kelompok pembaharu termasuk dengan
gurunya, karena liberalnya Ahmad Khatib dalam memberikan materi pada muridnya
agar menggali dari berbagai sumber.
Sarana penunjang bagi tersebarnya pemurnian Islam adalah
para tokoh pembaharu melanjutkan pemikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dkk,
dengan cara menyebarluaskan majalah Al-manar dari Mesir. Disamping itu
diterbitkan juga di kota Padang Sumbar majalah dua mingguan Al-Munir sejak
tahun 1911 M sebagai gerbong penyebaran pemikiran pembaharu. Tujuannya adalah
untuk meluruskan pemahaman agama tentang mazhab, problem fikih, menerjemahkan
artikel al-Manar dll.
Adapun Organisasi kelompok tradisional adalah Nahdhatul
Ulama; Perti dll. Sedangkan organisasi pembaharu adalah Muhammadiyah; Persis;
Sarikat Islam dll.
1.
Muhammadiyah
Organisasi ini didirikan di
Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 M, oleh KH. Ahmad Dahlan atas saran
dari murid-muridnya yang tergabung dalam Budi Utomo, mengingat ia semula adalah
sebagai guru di sekolah Budi Utomo. Budi Utomo adalah ormas yang didirikan oleh
DR Wahidin Sudirohusodo di Jakarta 20 Mei 1908 (tanggal ini dijadikan tonggak
kebangkitan Nasional RI).
Guru terkenal Ahmad Dahlan saat ia
belajar di Mekkah adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui, Ulama sekaligus
Imam Besar masjid Makkah. Karena itu pengikut dan organisasi Muhammadiyah di
luar Jawa banyak bermukim di Sumatra Barat, diantara tokohnya adalah Syeikh
Muhammad Jamil Jambek dan Haji Rasul.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
Muhammadiyah pada prinsipinya bukan hanya inisiatif pemimpinnya saja, tetapi
juga banyak mencontoh model misionaris Kristen seperti menolong orang-orang
fakir miskin, menolong anak terlantar, yatim piatu, penggalangan zakat dan
membuat kepanduan (hizbul wathan/pramuka). Selain itu Muhammadiyah juga
mendirikan Aisyiah ormas wanita untuk memberikan penyuluhan bagi ibu-ibu dalam
mendidik anak, pengembangan karir dll.
2.
Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan
di Bandung tahun 1920 M ketika di daerah-daerah lain pada dasarnya telah lebih
dulu maju dengan ormas lain. Keterlambatan ini merupakan cambuk bagi Persis
untuk mengejar ketertinggalan. Ide pendirian organisasi ini adalah dari tokoh
Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Asal mula yang melatarbelakangi ormas ini
lahir adalah karena ada pertikaian muncul dalam hal keagamaan yang di kupas di
Al-Munir dan al-Manar, serta makin maraknya paham komunis yang mampu memecah
belah Sarikat Islam. Persis lahir tidak memberikan penekanan bagi kegiatan
organisasi, perkaderan dan membuka cabang di daerah-daerah serta memperbanyak
anggota sebagaimana Muhammadiyah dan NU.
Pengaruh Persis besar karena
cita-cita dan pemikirannya disebarkan lewat media pamflet, majalah
(Al-Muslimun); tabligh; khotbah; sekolah-sekolah dan buku-buku. Referensi buku
atau materi itu banyak menjadi acuan bagi guru; mubaligh dari Al-Irsyad,
Muhammadiyah dll. Dalam kegiatan tersebut Persis beruntung mendapatkan dukungan
dari tokoh penting yaitu Ahmad Hasan (priode berikutnya ia menjadi gurunya
Persis) dan dukungan dari M. Natsir ( di kemudian hari ia menjadi penggagas
berdirinya Masyumi).
3.
Sarikat Islam (SI)
Didirikan di Solo pada tanggal 11
November 1912 M. Semula organisasi ini tumbuh dari organisasi Sarikat Dagang
Islam (SDI) yang didirikan oleh Tamar Jaya dan Haji Saman Hoedi tanggal 16
Oktober 1905 M. Alasan berdirinya SI adalah pertama, kompetisi yang meningkat
di bidang perdagangan batik pribumi (muslim) dengan etnik Cina. Kedua, sikap
superioritas orang-orang Cina terhadap pribumi sehubungan dengan berhasilnya
revolusi Cina tahun 1911 M. ketiga, munculnya tekanan dari orang Indonesia
terutama dari kalangan bangsawan yang banyak mendapat hak istimewa dari
Belanda, tidak mengindahkan hak-hak rakyat biasa; rakyat dilarang memakai
pakaian tertentu; atau melalui jalan-jalan tertentu.
Sarikat Islam pada fase selanjutnya
memperoleh dukungan tokoh-tokoh penting yang mengendalikan organisasi seperti
Haji Oemar Said Cokroaminoto. Ia termasuk tokoh yang sangat radikal dalam
membela hak-hak rakyat yang ditindas Belanda, Cina dan kaum bangsawan. Kedua,
Haji Agus Salim masuk SI tahun 1915. ia tokoh penting setelah HOS Cokroaminoto.
Selain itu ada juga Abdul Muis. Dua tokoh terakhir mampu membentengi SI dari
penetrasi paham komunis yang telah merasuki sebagian besar organisasi lain
termasuk SI.
Perjuangan SI diwujudkan dalam
bentuk program kerja yang intinya menolak sistem kapitalisme sebagaimana
terjabarkan dalam berbagai bidang :
1.
bidang politik; menuntut berdirinya dewan
daerah; perluasan hak volksraad (dewan rakyat) untuk menjadi lembaga legislatif
dan menyampaikan aspirasi rakyat; disamping itu SI juga menuntut dihapuskannya
kerja paksa dan sistem izin ketika mau bepergian naik haji.
2.
bidang pendidikan, SI menuntut penghapusan
peraturan yang diskriminatif untuk penerimaan murid di sekolah-sekolah,
perbaikan lembaga pendidikan, dan perlunya ditambah jumlah sekolah.
3.
bidang agama, SI menuntut dihapuskannya segala
macam UU dan peraturan yang menghambat tersebarnya Islam; pembayaran gaji guru
dan penghulu seimbang dengan gaji pendeta; subsidi bagi lembaga pendidikan
Islam; dan pengakuan hari-hari besar Islam.
4.
bidang Agraria, SI menuntut penghapusan
particuliere landerijen (milik tuan tanah); industri-industri yang menyangkut
orang banyak harus dinasionalisasi bukan dimonopoli. Dan bidang keuangan, SI
menuntut agar pajak berdasar proporsional, melarang pekerja dari kalangan
anak-anak.
ISLAM
DI INDONESIA FASE KEMERDEKAAN
Topik penting yang menjadi perdebatan panjang di era
kemerdekaan adalah masalah ideologi negara (dasar negara). Kelompok nasionalis
(PNI,PKI,Parkindo, PSI, dll) berhadapan langsung dengan kelompok Islam
(Masyumi, NU, PSII, Perti). Setelah pemilu pertama september 1955 memilih
anggota Dewan dan Desember 1955 memilih anggota Konstituate, suara umat Islam
terpecah-pecah. Masyumi semula diramalkan mendapat suara terbanyak, tetapi
hanya mendapat seperlima (20,9%); NU mendapat (18,4%); PSII mendapat
(2,9%),sementara kelempok nasionalis yang tergabung dalaam PNI mendapat
(22,3%).
M. Natsir yang pernah menjadi ketua Umum Masyumi sekaligus
sebagai juru bicara umat Islam menegaskan bahwa UUD negara sepantasnya berakar
dalam jiwa, akal, perasaan dan falsafah kehidupan rakyat. Ia menolak argumen
bahwa Pancasila harus diterima atas nama demokrasi. Hal ini mengingat bahwa
yang telah dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia selama berpuluh generasi dan
menjadi pembimbing adalah Islam. disamping itu ada kesesuaian konsep ajarannya
tentang negara dan masyarakat. Dan Islam sepatutnya menjadi dasar negara,
karena Islam punya sifat menjamin hidup keragaman masyarakat saling menghargai
antar golongan dalam negara.
Dalam mukadimah (rancangan mukadimah) UUD 1945 dicantumkan
kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun
untuk menyahuti keberatan dari saudara-saudara kita yang non-muslim terutama
dari Indonesia bagian Timur diwakili oleh A A. Maramis, maka ketika mau
dibacakan tanggal 18 Agustus 1945, atas usul Bung Hatta, kata-kata itu dihapus
dari Mukadimah. Tetapi masalah itu dimunculkan lagi pada tahun 1950-an sesudah
penyerahan kedaulatan, terutama pada pemilu 1955 serta pada sidang Konstituante
yang berwenang menyusun UUD baru. Namun pada akhirnya dalam sidang itu gagal
menghasilkan UUD baru karena pertentangan ideologi antara Islam dan nasionalis
menemui kebuntuan. Bila dilihat dari perolehan kursi kelompok nasionalis 274
kursi; Islam 230 kursi dan kelompok Sosial-Ekonomi 10 kursi. Konstituante
”gagal” menetapkan UUD baru, meskipun telah dibahas sejak tanggal 10 November
1956 berakhir tanggal 2 Juli 1959. Hingga akhirnya Sukarno memutuskan
berlakunya kembali UUD 1945 melalui dekrit 5 Juli 1959.
Ideologi Islam yang gagal diperjuangkan di konstituante,
meski hasilnya sudah memasuki upaya final, mengalami ganjalan dalam menetapkan
ideologi apakah Islam atau Pancasila. Kelompok yang mendukung kembali kepada
UUD 1945 versi 18 Agustus terdiri dari PNI dan PKI serta Katolik dan Protestan.
Sementara kelompok Islam Masyumi, NU, PSII, dan partai kecil lainya konsisten
dengan ideologi negara Islam dangan UUD 1945 versi Piagam Jakarta. Sidang
konstituate divoting dengan suara 269, 264, dan 263 (negara Islam berdasar pada
piagam Jakarta 22 Juli 1945), pihak penentang 199, 204, dan 203 (negara
Pancasila berdasarkan 18 Agustus UUD 45). Dengan tidak tercapainya suara
mayoritas (dua pertiga), maka banyak pihak terutama partai nasionalis
menginginkan sidang konstituante dibubarkan.
Sementara pihak Islam banyak kecewa sebagaimana dituturkan
oleh Kahar Muzakkir (satu dari tim penandatangan Piagam Jakarta), bahwa
penerimaan umat Islam terhadap UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 itu, karena
Soekarno pernah berjanji bahwa UUD ini dapat disempurnakan kemudian disesuaikan
dengan cita-cita umat Islam karena situasi saat itu masih berhadapan dengan
agresi Belanda. Tim Sembilan penandatanganan Piagam Jakarta yang terdapat tujuh
kata “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu
adalah : Soekarno, Muhammad Hatta, AA. Maramis, Abikusno Tjokrosujono, Kahar
Muzakkir, H. Agus Salim, Achmad Subarjo, Wachid Hasyim, dan M. Yamin.
Muh. Natsir petinggi Masyumi sekaligus pernah menjadi
Perdana Menteri dalam Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951), pernah
menjadi Menteri Penerangan dalam kabinet Hatta (29 Januari 1949 – Agustus
1949), menegaskan bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran Islam dan bukan barang
asing yang berlawanan dengan ajaran al-Quran, tetapi tidak berarti pula
Pancasila itu identik dengan al-Quran atau meliputi semua ajaran Islam. Di
samping itu menurutnya sungguhpun Pancasila itu mengandung tujuan Islam, namun
Pancasila itu tidak berarti Islam dan ada cita-cita luhur yang perlu ditegakkan
seorang muslim, yaitu syariat Islam. Dengan kata lain, meski Natsir setuju
Pancasila sesuai dengan ajaran Islam, bukan berarti ia setuju Pancasila
dijadikan sebagai dasar negara (Deliar Noer : Partai Islam di Pentas Nasional ;
131-132).
Berkaitan dengan ideologi Islam itu pula muncul sekelompok
orang di luar pemerintahan yang berusaha mendirikan negara Islam lagi, yang
pada akhirnya menimbulkan pemberontakan di beberapa wilayah Indonesia, misalnya
pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DITII) pimpinan Kartosuwiryo
di Jawa Barat berakhir tanggal 4 Juni 1962; DITII dipimpin Kahar Muzakkar di
Sulawesi Tenggara berakhir tanggal 3 Februari 1965; Darul Islam pimpinan Daud
Beureueh berakhir dengan kesepakatan damai tanggal 17 Agustus 1961.
Mengenai proklamasi Negara Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo
– nama lengkapnya Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo – tanggal 7 Agustus 1949
isinya “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, kami umat Islam
dari rakyat Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Hukum
yang berjalan adalah hukum Islam, Allahu Akbar”. Menurut Kartosuwiryo merupakan
hak suci umat Islam Indonesia, jika RI. bersedia mengakui batas-batas wilayah,
NII akan memberikan jaminan bahwa RI. akan mempunyai sahabat sehidup semati.
Inti perlawanan dari Kartosuwiryo adalah menolak kerjasama dengan Belanda dalam
bentuk apapun termasuk menolak penjanjian Renvile.
Hal senada juga perjangan NII versi Kahar Muzakar – nama
aslinya La Domeng keturunan Arab-Bugis – mempunyai niat baik dan menganut
cita-cita luhur Islam tertentu.Ia mengecam partai-partai Nasionalis (PNI, Murba
dan PKI) adalah munafik dan tidak bertuhan karena itu harus dihancurkan (pasal
12). Sementara partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII) dinilai
kontrarevolusioner dan harus ditiadakan (pasal 13). Semua orang feodal yang
gemar memakai gelar seperti Daeng, Haji, Tengku,Sayyid, Raden, Gede bagus
dilawan (pasal 16). Termasuk NII menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri
(surat 5 ayat 38).
Sedangkan pemberontakan Aceh melawan Jakarta dalam tahun
1953 barangkali bukan merupakan hasil peristiwa serba kebetulan, seperti
terjadi di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Aceh dulunya masyarakat tertutup
bahkan hingga sekarang, dan mereka bangga dengan sebutan Serambi Mekah. Ketika
Agresi Belanda kedua tanggal 19 Desember 1948, pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) terbentuk di Sumatra Barat dengan pimpinan Syafrudin
Prawiranegara diserahi kekuasaan oleh Soekarno dari Yogyakarta. Saat itu tahun
1949 pemerintah menerima tuntutan Aceh untuk menjadi pemerintahan otonom dari
Republik secara de jure, dengan Daud Beureueh sebagai Gubenur.
Tahun 1950 timbul masalah, pemerinteh pusat Jakarta
memutuskan bahwa Aceh disatukan dengan Tapanuli dan Sumatera Timur menjadi
provinsi Sumatera Utara (BJ. Boland : 77). Dengan demikian jabatan Gubernur
Daud Beureueh tidak diperlukan lagi, dan ia diangkat suatu jabatan di Jakarta.
Tetapi ia menolak keputusan itu dan tidak bersedia dipindahkan di Jakarta. Daud
sangat moderat dan menjunjung tinggi nilai Islam, tidak menginginkan perpecahan
dan loyal kepada pemimpin dari seorang muslim (saat itu Masyumi), tetapi ketika
kabinet berubah dipimpin oleh Ali Sastromijoyo (PNI) tanggal 1 Agustus 1953,
kelompok sayap kiri Jakarta memunculkan desas desus akan menahan 190 orang
tokoh Aceh.
Akhirnya banyak tokoh-tokoh Aceh pindah ke gunung-gunung. Di
sinilah terjadi pemutusan hubungan dengan “Jakarta” secara resmi dan bermulanya
pembrontakan Darul Islam di Aceh. Memang diadakan kontak oleh Kartosuwiryo di
Jawa Barat, tetapi Aceh tidak berminat melibatkan diri dengan negara Islam
versi Kartosuwiryo.
Karena desakan yang kuat dari Aceh dan penguasaan wilayah
yang luas, maka kabinet Ali melalui Menteri Dalam Negeri Sunarjo mengunjungi
Aceh dan setuju Aceh menjadi Provinsi dan wilayah otonom. Tanggal 27 Januari
1957 Ali Hasjmi resmi dilantik menjadi Gubernur. Dalam tahap berikutnya muncul
kesepakatan segitiga antara Ali Hasjmi (Provinsi Aceh), Daud Beureueh (Darul
Islam) dan Pemerintah Pusat 26 Mei 1957.
ISLAM
DI MALAYSIA DAN NASIONALISME MELAYU
Penyebaran Islam di
Malaysia tidak bisa dilepaskan dengan peranan kerajaan Malaka. Karena Malaka
merupakan salah satu pusat kunci perkembangan Islam pesisir hingga kepulauan
Sulu Philipina. Islam berkembang setelah Sultan Muzaffar Syah (1445-1459).
Dengan dikeluarkannya Hukum Kanun Malaka dan Undang-Undang Islam sebagai
dasarnya (Zainal Abidin : 22).
Pada tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis, tetapi
tahun 1641 Portugis mampu dikalahkan Belanda, karena jajahan Belanda tidak
mentolerir penguasa Melayu melanggengkan adat istiadat mereka, maka pada
akhirnya Belanda jatuh ke tangan Inggris tahun 1795. tahun 1874 Inggris membuat
perjanjian Pangkor, yang isinya Inggris berjanji tidak akan ikut campur dalam
urusan-urusan yang menyangkut adat istiadat dan agama orang Melayu.
Dibandingkan Portugis dan Belanda, maka Inggris adalah penjajah yang lebih
simpatik terhadap Islam.
Berdasarkan UUD
Malaysia sejak merdeka 31 Agustus 1957, Islam merupakan agama resmi negara,
walaupun agama-agama lain tetap dijamin. Dari jumlah penduduk 18 juta tahun
1995, yang memeluk Islam tidak lebih dari 55%, namun citra Islam di negara ini
sangat mencolok, karena Islam menjadi faktor utama bagi identitas Melayu.
Dikatakan orang Melayu identik dengan muslim adalah simbol dari nasionalisme
Melayu. Salah satu penyebabnya adalah setelah terjadinya peristiwa berdarah
kerusuhan rasial antar etnis Melayu dan Cina yang terjadi 13 Mei 1969.
Semangat nasionalisme Melayu sebenarnya tumbuh sejak tahun
1930-an, tetapi puncaknya ketika penjajahan Inggris semakin intensif yang
akhirnya tahun 1948 lahir gerakan Partai Politik Melayu dengan nama UMNO
(United of Malay Nationalism Organization) pada awalnya hanya berfungsi sebagai
jaringan administrasi penjajahan Inggris di Malaysia.
UMNO didirikan pada
dasarnya adalah akibat langsung perlawanan Melayu yang ketuanya adalah Onn
Jakfar terhadap usulan Inggris membentuk Malayan Union. UMNO lalu menjadi pusat
ketegangan antara kelompok yang cenderung nasionalis etnis-sekuler dengan
pemimpin yang lebih Islami seperti Ahmad Fuad. Karena pemimpin kelompok kedua ini
tidak puas pada kelompok yang pertama tentang perjuangan Islam yang dilakukan
UMNO, akhirnya mereka keluar dari UMNO dan membentuk HAMIM (Hizbul Muslimin)
Partai Islam pertama diketuai oleh Abu Bakar al-Bakir tahun 1948, dengan motto
“memperjuangkan kemerdekaan Melayu dan membangun Masyarakat Islam berdasarkan
prinsip Islam, dan Malaya sebagai negara Islam”. Organisasi ini secepatnya
dilarang Inggris dan pemimpinnya ditangkap, karena bertentangan dengan
keinginan Inggris. Tetapi lembaga inilah yang mengilhami berdirinya PAS di
kemudian hari.
UMNO pada masa
kepemimpinan Tunku Abdurrahman (setelah Onn Jakfar) menegaskan dalam Anggaran
Dasar UMNO 1960 berjanji “mendorong kemajuan Islam sebagai “modus vivendi” atau
cara hidup”, tetapi negeri ini bukanlah negara Islam sebagai umumnya dipahami
dan hanya mengakui Islam sebagai agama resmi negara, dalam arti ia pendukung
negara sekuler.
Untuk memenuhi janji ini, Abdurrahman membangun mesjid
negara tahun 1961 dan juga menyelenggarakan MTQ tingkat nasional. Tetapi
kebijakan ini hanya bersifat simbolis demi menentramkan elemen-elemen pro-Islam
di arena politik. Untuk memperkuat posisi politik, Abdurrahman sebagai presiden
UMNO dan sebagai Perdana Menteri menjalin aliansi dengan partai non-Melayu
seperti MCA dan MIC.
Untuk mempertegas ideologi negara, Abdurrahman menerapkan
secara resmi tahun 1970 prinsip dasar rukun negara, yaitu “Kepercayaan kepada
Tuhan; kesetiaan kepada raja dan negara; menjunjung tinggi konstitusi negara
dan negara hukum; prilaku dan moralitas yang baik”.
Pada tahun 1971
pemerintah juga mengeluarkan kebijakan ekonomi baru yang dikenal dengan NEP
(New Economic Policy). Kebijakan ini bertujuan ingin mengangkat harkat dan
martabat orang Melayu, dan membangkitkan kembali semangat nasionalisme Melayu.
Harapannya tahun 1990 nanti akan ada keseimbangan kue nasional
sekurang-kurangnya 30% bagi kaum Melayu (bumi putra); 40% bagi nonp-Melayu
(India dan Cina) serta 30% bagi perusahaan multinasional. Kebijakan ini dibuat
mengingat kemiskinan yang melilit bagi etnis Melayu, sementara ekonomi dipegang
oleh Cina.
Satu-satunya
organisasi pemuda yang diizinkan pemerintah UMNO adalah ABIM (Angkatan Belia
Islam Malaysia) berdiri tahun 1969. lembaga ini didirikan bertujuan membela dan
memajukan Islam, khususnya kesempurnaan sebagai (al-Dini) serta untuk
menanggulangi masalah pembangunan bangsa. Tokoh-tokoh kunci ABIM adalah Anwar
Ibrahim, Siddiq Fadhil, Ghani Samsudin, Kamaruddin Noer dan Kamaruddin Jakfar.
ABIM memberi dukungan terhadap berdirinya negara Islam dan hukum Islam. sampai
tahun 1981 ABIM dengan lantang menyatakan :
a. Pemerintah tidak Islami, karena
banyak korupsi, penyalahgunaan kekuasaan,
penindasan buruh, dan lain-lain.
b. Menuduh ISA (Internal Security
Act- Undang-Undang Keamanan dalam negeri) dan SAB (Societies Act Bill – RUU
kegiatan masyarakat) agar dicabut karena bertentangan dengan hak asasi manusia.
c. Pembangunan yang dilakukan
pemerintah tidak mampu menanggulangi masalah komunal negeri.
d. ABIM menyangkal kritikan UMNO
mengenai kegiatan ekstrimis muslim, dengan mengatakan bahwa pemerintah anti
dakwah Islam.
Tahun 1981 ketika
Mahathir menjadi Perdana Menteri, menawarkan kepada Anwar Ibrahim (Presiden
ABIM) agar bergabung dengan pemerintah. Atas bujukan itu Anwar mau pindah
haluan dengan misi “Dakwah Islam dan perbaikan nasib kaum Melayu”. Penilaian
Anwar karena Mahathir lebih Islami dibanding pendahulunya. Banyak kebijakan
yang dibuat Mahathir untuk meyakinkan rakyat Malaysia bahwa UMNO dan pemerintah
benar-benar mendukung prinsip-prinsip Islam, bukan sekedar dukungan simbolis.
Secara kronologis kebijakan pro-Islam yang dibuat :
1. Pemerintah merevisi sistem hukum
nasional agar lebih selaras dengan hukum Islam (1978).
2.
Mendirikan pusat penelitian Asia Tenggara (M$ 26 juta) tahun 1979.
3.
Agama Islam dijadikan materi Ujian Nasional di sekolah (1979).
4.
Penetapan bulan dakwah nasional (1979).
5.
Menyusun kembali sistem ekonomi model Islam.
6.
Pembangunan sekolah guru Islam (M$ 22 juta) 1980.
7. Pendirian Bank Islam, Pegadaian
Islam, Asuransi Islam, Yayasan Ekonomi Islam (1981 – 1982).
8.
Memperbanyak program keIslaman di TV dan radio (1981).
9.
Bergabungnya Anwar Ibrahim dengan UMNO dan pemerintah (1982).
10.
Pendirian rumah sakit Islam (1983).
11.
Pendirian Universitas Islam Internasional (1983).
12.
Deklarasi resmi “Islam Tubuh Pemerintahan” (1984).
13.
Kebijakan agama Islam saja yang dapat siaran di TV dan radio.
14.
Status hakim dan pengadilan Islam disetarakan dengan pengadilan sipil.
15.
Membangun desa-desa Islam di kota-kota sepanjang Malaysia.
Sikap pemerintah dan
UMNO terhadap Islam memasuki era Mahathir sejak tahun 1981 mulai berubah, yaitu
terbuka dan mendukung Islam. Tetapi penilaian aktivis oposisi, dukungan itu
bersifat ambivalen, karena pada sisi lain pemerintah bersikap waspada untuk
mengendalikan dan mengekang individu-individu atau kelompok Islam, dengan
alasan kegiatan Islamnya membahayakan stabilitas negara.
Adapun pemimpin-pemimpin UMNO yang otomatis menjadi perdana
Menteri semenjak Malaysia Merdeka bisa dilihat sejak pertama yaitu :
1. Dato’ Onn Jakfar : Penggagas
berdirinya UMNO dan memimpin tahun 1946-1957 keturunan dari Bugis (Sulawesi).
2.
Tunku Abdurrahman : Bapak Kemerdekaan memimpin tahun 1951- 1971
3.
Tun Abdul Razak : bapak Keamanan memimpin tahun 1971-1976
4.
Husein Onn : Bapak keamanan memimpin tahun 1976-1981
5.
DR. Mahathir : bapak Malaysia Modern memerintah 1981-2005 M.
6.
Ahmad Badawi : memerintah dari tahun 2005 hingga 2009
7.
Tun Muh. Najib : memerintah dari tahun 2009 hingga sekarang.
PERANAN
PAS DALAM PENGEMBANGAN ISLAM
DI MALAYSIA
Partai al-Islam
Se-Malaysia (PAS) lahir pada tanggal 23/24 Agustus 1951 bertepatan tanggal
21/22 Zulkaidah 1370 H di Kkelab Melayu Banda Butterworth seberang Prai. Partai
ini lahir dipelopori oleh beberapa ulama dari United Malaya National
Organization (UMNO), yang awalnya (1946-1948 M) hanya berbentuk organisasi
kemasyarakatan bagi perkumpulan orang-orang Melayu. Namun pada pertengahan 1948
M, organisasi ini mengubah haluan ke wilayah politik.
Dalam perpolitikan orang Melayu masa itu, ada dua kubu yang
memiliki paham berbeda. Satu pihak berbasis pendidikan Barat, sementara di
pihak lain memiliki basis pendidikan Timur Tengah. Kelompok Pertama membawa
visi politik mengarah kepada demokrasi Barat, yaitu memiliki konsep bahwa
antara agama dan politik tidak mungkin dipadukan, mereka umumnya mendapat restu
dan pengakuan dari pihak kolonial Inggris. Sementara kelompok Kedua, memandang
politik sebagai bagian dari Islam, Karena itu Islam dianggap sebagai Din wa al
Daulah. Oleh pihak Inggris kelompok terakhir ini dianggap sebagai oposisi
pemerintah bentukannya.
PAS dibangun di atas
kehancuran partai Hizbul Muslimin (HAMIM), yaitu Partai Politik Islam pertama
dan satu-satunya pada waktu kolonial Inggris bercokol di kawasan Malaysia.
Partai HAMIM ini digerakkan oleh kelompok muslim Melayu yang memiliki komitmen
dengan tiga dasar perjuangan. Pertama, untuk membebaskan bangsa Melayu dan
tanah Melayu dari penjajahan Inggris.kedua, membentuk negara Islam sejagat, dan
Ketiga, untuk mewujudkan tanah Melayu sebagai negara “Daar al-Islam”. Visi
penting PAS adalah ide pembentukan negara Islam yang punya perbedaan mencolok
dengan konsep kenegaraan dikendalikan oleh UMNO (United Malay National
Organization). Akibatnya PAS berupaya mengkritik terus menerus
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah (UMNO), karena kebijakan itu
belum mampu menyentuh persoalan mendasar sesuai dengan konsepsi PAS. Hal ini
tidak lain persoalan tentang kebijakan yang dibuat pemerintah tidak didasarkan
pada al- Quran dan Hadits.
Partai al-Islam
Se-Malaysia (PAS) sebagai bagian dari oposisi pemerintah memiliki peran penting
dalam politik Malaysia. PAS masih mampu mengendalikan kekuasaannya atas negara
bagian Kelantan hingga sekarang. Namun kendalinya terhadap negara bagian
Trengganu (dimenangkan tahun 1959) mulai surut sejak tahun 1962, yaitu ketika
saat itu beberapa aktivis PAS membelot ke UMNO. Salah satu ciri penting
perjuangan PAS adalah konsisten dalam memperjuangkan negara Islam. Menurut
mereka konsep inilah yang belum bisa dijalankan sepenuhnya oleh UMNO untuk
dijadikan sarana mengangkat citra identitas mereka dihadapan warga muslim,
mengingat dasar eksistensi UMNO adalah nasionalis etnis dan punya visi sekuler.
Visi PAS yang
dicirikan sebagai negara Islam dengan dasar syariat Islam, sejak awal partai
ini dikibarkan dalam masyarakat muslim tahun 1951 sering disebarluaskan, dan
makin intensif sejak kepemimpinan Yusuf Rawa tahun 1982, namun sempat surut
pada tahun 1970-an masa kepemimpinan Asri Muda. Otomatis PAS menolak bentuk
sekuler yang dijadikan eksistensi negara Malaysia hingga sekarang dibawah
pemerintah UMNO, dimana agama tidak memperoleh peran yang berarti di dalam
negara, dan dimana hukum buatan manusia justru lebih unggul dari pada hukum ciptaan
Tuhan. Meski praktiknya sulit menerapkan kedua bentuk hukum itu secara seiring
dalam konteks Malaysia yang plural. Namun daya tarik simbol dan kultural model
negara Islam dari sebagian kalangan warga melayu, khususnya yang tinggal di
kampung-kampung tidak dapat diremehkan begitu saja.
Pada awal berdirinya
PAS 1951, Ahmad Fuad terpilih sebagai presidan partai. Bersamaan dengan Ahmad
Fuad terdapat sederet tokoh yang ikut membesarkan PAS seperti Hasan Adli, DR.
Burhanuddin Helmi dan Zulkifli Muhammad. Meskipun partai PAS saat itu begitu
anti dengan kolonialis Inggris, namun mereka masih berusaha mendukung
pemerintah Datok Onn Jakfar sebagai pemimpin United Malay National Organization
(UMNO) betukan Inggris. Pada tanggal 25 Desember 1956, DR. Abbas Alias presiden
PAS digantikan oleh DR. Burhanuddin Helmi. Sebagai wakil presiden ditunjuk DR.
Zulkifli Muhammad Kedua tokoh ini memiliki peran penting dalam menggagas
pergerakan politik Islam dan mengkompromikan dengan paham nasionalisme Melayu.
Menurut mereka meskipun sulit untuk menggabungkan antara keduanya, namun ia
tetap berusaha menggabungkan antara idealis Islam dengan Nasionalisme etnis
Melayu.
Burhanuddin menyatakan bahwa “Politik Islam tidak bisa
dipisahkan dari al-Quran dan Hadits, dan pada saat yang sama kita perlu
meneguhkan falsafah melayu untuk bangsa Melayu”. Namun John Funston membantah
bahwa keterlibatan Burhanuddin Helmi di pentas politik lebih didasarkan pada
motivasi religius. Pada masanya Kelantan, Trengganu dan Kedah, menjadi basis
masa pemilu 1959.
Kekalahan PAS dalam
Pemilu tahun 1964 di negeri bagian yang berbasis PAS (Trengganu, Kedah dan
Kelantan) dapat dirinci pada tiga peristiwa penting. Pertama,
didiskualifikasikan DR. Burhanuddin Helmi sebagai kandidat pemilu saat itu.
Kedua, meninggalnya deputi presiden PAS, DR. Zulkifli Muhammad beberapa waktu
setelah ia memenangkan kursi di parlemen. Ketiga, dari segi ekonomi, PAS
mengalami masa-masa sulit, karena macetnya saluran berbagai dana ke
negeri-negeri bagian yang dikuasai PAS. Dengan wafatnya DR. Zulkifli Muhammad
bulan Mei 1964, jabatan wakil presiden PAS saat itu dipegang oleh Burhanuddin
Helmi, sementara ia masih dalam tahanan pemerinhtah, maka kendali jabatan
tersebut otomatis diaksanakan oleh DR. Asri Muda. Hingga pada Oktober 1969,
jabatan yang Dipertuan Agung PAS dipegang oleh DR. Asri Muda.
Dalam konsepsi PAS
istilah negara – dikemukakan oleh pimpinan PAS Abdul Hadi Awang – bahwa suatu
negara harus mendaulatkan hukum Allah, syariat Allah wajib menjadi akidah
negara dan pegangan pemerintah, karena dari akidah ini dapat ditegakkan
konstitusi dan sistem negara Islam. Dari sini dapat ditelaah bahwa konsep
negara Islam ada tiga karakteristik : pertama, Medaulatkan Syariat Islam;
kedua, Umat Islam memberikan dukungan yang kuat; ketiga, pemerintah Islam yang
menaunginya.
Kemudian tokoh PAS lain Syafei Ibrahim menegaskan bahwa
Islam adalah ideologi partai PAS dan partai ini berjuang untuk mengamalkan
Islam secara menyeluruh setiap aspek dalam Islam. Ini berarti bahwa ia
menyakini bahwa ajaran Islam sebagai ideologi yang lengkap. Islam tidak hanya
diyakini sebagiannya saja, tetapi meliputi semua aspek, baik ekonomi,
sosial-budaya, hukum dan politik. Pandangan ini mempertegas kosepsi partai
bahwa menjadikan pemerintahan Islam adalah sarana mencapai tujuan. Karena
menurut mereka, dengan terwujudnya negara Islam akan memungkinkan terlaksananya
hukum Islam secara menyeluruh atau integrated.
Konsep lain dari
tokoh PAS tentang prinsip-prinsip pembentukan negara Islam dikemukakan oleh
Nakha’ie Haji Ahmad :
1.
Negara dan pemerintahan Islam dibentuk atas kedaulatan hukum Allah.
2. Negara dan pemerintahan Islam
ditegakkan atas kekuasaan Ummah dalam arti bahwa negara Islam tidak akan
terwujud tanpa umat.
3. Negara dan pemerintahan Islam
ditegakkan atas dasar keadilan. Dan keadilan merupakan prinsip utama dalam
menegakkan pemerintahan Islam yang mencakup keadilan di setiap aspek.
4.
Negara Islam ditegakkan atas dasar sistem musyawarah (sura).
5.
Pemerintahan yang bertanggungjawab dan adanya ketaatan dari rakyat.
Konsep ini
bertentangan dengan konsep nasionalisme negara bangsa yang diusung oleh
pemerintah UMNO. Karena itu, PAS berupaya mengkritik terus menerus
kebijakan-kebijakanyang dibuat oleh Pemerintah (UMNO), karena kebijakan itu
belum mampu menyentuh persoalan mendasar yaitu tidak didasarkan pada al-Quran
dan Hadits.
PAS mengibaratkan
program Islamisasi yang buat pemerintah seperti gincu atau kosmetik yang hanya
sebatas label menempel dalam sistem yang tidak ada kaitannya dengan prinsip
ajaran Islam sebagai ideologi. Bahkan penerapan Islam yang dibuat pemerintah
UMNO, menurut tokoh PAS Yusuf Rawa diibaratkan sebagai buah getah di dahan,
kemudian diumumkan kepada orang ramai bahwa itu adalah buah durian. Sebutlah
umpamanya kebijakan pendirian Bank Islam, Universitas Islam, Asuransi Islam,
dan lain-lain, tetapi kebijakan itu belum mampu menciptakan perlembagaan
(Undang-Undang) negara sesuai dengan cita-cita Islam. PAS pada dasarnya mau
bekerjasama dengan pemerintah UMNO, namun apabila pemerintah mau dan sanggup
menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam negara, termasuk menjadikan hukum Islam
(yang ada dalam al-Quran dan Hadits) sebagai pedoman dalam menjalankan roda
pemerintahan.
Berdasarkan konsepsi PAS di atas, menunjukkan bahwa Islam
adalah agama yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk
dalam urusan bernegara, ajaran Islam harus menjadi dasar negara, syariah Islam
harus dijadikan konstitusi negara dan kedaulatan politik berada di tangan
Tuhan. Konsep ummah yang dipahami PAS bertentangan dengan negara bangsa (nation
state) yang banyak diakui oleh negara-negara modern (Eropa) termasuk UMNO.
Menurut ilmuan
muslim, Muhammad Imarah bahwa Islam sebagai agama sebenarnya tidak menentukan
suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslimin, karena logika tentang
kesesuaian agama Islam untuk sepanjang zaman dan tempat menuntut agar soal-soal
yang selalu berubah oleh kekuatan evolusi harus diserahkan kepada akal manusia
untuk memikirkannya, dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip
umum yang telah digariskan agama Islam. Islam tidak meletakkan suatu pola yang
baku tentang teori negara atau sistem politik yang harus dijalankan oleh ummah.
Model sistem
kenegaraan PAS, merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal
formal idealisme politik Islam, yang ditandai oleh keinginan untuk menerapkan
syariah secara langsung sebagai konstitusi negara. Sedangkan aliran yang
bertolak belakang dengan konsepsi PAS, menekankan substansinya daripada bentuk
negara yang legal formal. Penekanan substansi ini menginginkan agar terwujdunya
nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi yang tidak
bertentangan dengan prinsip Islam. Pendekatan ini lebih mudah menghubungkan
antara Islam dengan sistem politik modern. Karena itu, menurut Michael Hudson
menganggap bahwa bahwa tradisi pemikiran politik Islam yang berkembang dalam
kurun sejarah Islam lebih kaya, beraneka ragam dan lentur.
ISLAM
DI SINGAPURA DAN PERANAN MUIS
Asal usul nama
Singapura semula bernama Temasik, Tumasek (Jawa), Ta-ma-sek (Cina), sebagaimana
dijelaskan kitab Tuhfat al-Nafis dimana saat itu sultan Singapura dipimpin oleh
Sultan Husein Syah (1819). Ada versi lain, nama asal Singapura, ini muncul
ketika pangeran dari Sumatera bernama Sang Nila Utama singgah di pulau ini
tahun 1299 dan menemukan seekor binatang mirip singa, sehingga pulau in disebut
lion city (kota singa). Ada versi lain bahwa nama Singapura itu adalah dari
kata Singgah (singgah) dan pura berarti (kota), karena pada abad ke 14
Singapura merupakan bagian dari karajaan Majapahit, para pedagang dari penjuru
manapun suka singgah disana.
Negara Singapura
adalah negara kota, berdiri pada taggal 9 Agustus 1965 atau keluar dari negara
federasi Malaysia. Negara ini menganut paham “sekuler-modern”, dimana
pemerintah bersikap netral terhadap semua agama dan ras. Etnis Melayu muslim
berlatar belakang dari pesisir Malaysia, Jawa, Bugis, Bawean. Selain ada juga
dari muslim India, Cina, Pakistan dan Arab. Diantara keluarga besar keturunan
Arab yang besar dan kaya adalah Al-Sagoff, Al-Kaff, dan Al-Juneid. Penduduk
mayoritas adalah Cina 77%, Melayu 15%, (kurang lebih 376.000 jiwa) dari 4 juta
lebih ; India 6% dan lain-lain. Melayu muslim kebanyakan hidup dengan standar
ekonomi lebih rendah dibanding dengan non-Melayu, termasuk tertinggal di bidang
pendidikan sosial ekonomi dan politik. Tahun 1980-an hanya terdapat 679 orang
yang lulus Sarjana (Muslim In Singapore, 1985).
Singapura adalah
sebuah negara Republik dengan sistem pemerintahan parlementer. Dalam UUD negara
ini terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Presiden adalah sebagai
kepala negara, tetapi tidak memiliki kekuatan politik. Sedangkan Perdana
Menteri adalah pemimpin kabinet dan administrasi pemerintahan hingga otomatis
kekuatan politik dipegang penuh oleh Perdana Menteri.
Islam di Singapura
disyiarkan oleh para ulama dari berbagai belahan Asia Tenggara dan benua kecil
India, seperti Syaikh Hatib al-Minangkabaui; Syaikh Tuanku Mudo Aceh; Syaikh
Ahmad Aminudin; Syaikh Syed Usman bin Yahya bin Akil (mufti Betawi); Syaikh
Habib Ali Habsi (Kwitang, Jakarta); Syaikh Anwar Sribandung (Palembang); Syaikh
Muhammad Jamil Jaho (Padang Panjang), dan lain-lain. Sistem pendidikan Islam
modern dari awal hingga sekarang merujuk pada sistem Mesir dan Barat seperti
madrasah, sekolah Arab atau sekolah Agama, tetapi tidak mengenal pondok
pesantren. Ada 4 madrasah terbesar di Singapura yaitu :
1. Madrasah al-Junied al-Islamiyah,
didirikan tahun 1927 M oleh pangeran Syarif al-Sayid Umar bin Ali al-Juneid
dari Palembang. Materi terdiri dari Ilmu Hisab, Tarikh, Ilmu Alam, Bahasa
Melayu, Bahasa Inggris, Sains, Sastra Melayu dan Pelajaran Agama.
2. Madrasah Al- Ma’arif, didirikan
tahun 1940-an, gurunya dari lulusan Al-Azhar Mesir.
3.
Madrasah Wak Tanjung al-Islamiyah, didirikan tahun 1955 M.
4. Madrasah Al-Sagoff atau
as-Saqaff, didirikan tahun 1912 di atas tanah wakaf Syed Muhammad bin Syed
al-Saqoff.
Untuk meyakinkan kaum
muslimin bahwa pemerintah memegang prinsip kebebasan dalam beragama dan
melindungi keyakinan mereka, maka MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) didirikan
dibawah perundang-undangan dan ketentuan Administration of Muslim Law Act of
1966 (AMLA). MUIS bertanggung jawab dalam mengatur administrasi hukum Islam di
Singapura, termasuk mengumpulkan zakat mall, pengaturan perjanjian haji;
sertifikasi halal, aktifitas dakwah, mengorganisasi sekolah-sekolah agama,
mengorganisasi pembangunan masjid dan manajerialnya (ada 90 masjid yang
dikelola); pemberian beasiswa pelajar muslim; dan bertugas mengeluarkan fatwa
agama. Ketua dan anggota MUIS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, melalui
usulan dari kelompok melayu muslim.
Sebagai komunitas
minoritas, muslim Singapura tidak bisa melepaskan diri dari berbagai kebijakan
pemerintah dan arus utama (mainstream) masyarakat Singapura yang dikenal
sebagai salah satu negara industri baru (NICs) selain Jepang, Korea Selatan dan
Hongkong. Konsekuensi dari minoritas ini berdampak pada peminggiran langsung
atau tak langsung di berbagai bidang, antara lain :
a. Pendidikan, pemerintah
memberlakukan sistem meritokrasi, yaitu memberikan kesempatan setiap warga
berdasarkan persaingan sehat dan prestasi, bukan pertimbangan etnis atau agama.
Kebijakan ini menyulitkan anak-anak muslim yang memiliki kompetisi rendah untuk
masuk ke sekolah-sekolah unggulan, etnis Cina dalam hal ini lebih berprestasi.
b. Bidang sosial, pemerintah
menerapkan kebijakan membangun rumah rakyat dengan Housing and Development
Board (HDB), program ini mewajibkan setiap warga tinggal diperumahan baru di
flat atau kondominium. Konsekuensinya, semula muslim Melayu tinggal di
pemukiman tradisional dan homogen, terpaksa tinggal di flat atau sejenis yang
multi etnik dan menanggung biaya hidup tinggi (living cost). Mereka teralienasi
(terasingkan) dari tradisi budaya Melayu. Di samping itu Melayu Muslim
terbebani dengan biaya hidup tinggi yang membuat mereka harus bekerja ekstra
dan minim aktivitas sosial-keagamaan.
c. Bidang politik, Melayu Muslim
juga tidak mendapatkan haknya secara proporsional (termarjinalkan). Di lembaga
dewan belum merepresentasikan jumlah warga muslim. Di kabinet hanya ada satu
orang yang duduk sebagai menteri, itu pun hanya menteri khusus yang mengurus
persoalan keIslaman.
d. Melayu Muslim menyadari kondisi
real ini sebagai kelompk minoritas, sehingga lebih memprioritaskan sektor
kultural dengan mendirikan asosiasi Islam seperti MUI, MENDAKI, Muhammadiyah,
dan lain-lain.
Dilatarbelakangi oleh
sensus penduduk tahun 1980-an yang menyatakan Melayu-Muslim adalah kelompok
tertinggal dari etnis lain secara sosial-ekonomi, maka pada tahun 1982
didirikan Majlis Pendidikan untuk Anak-anak Islam (MENDAKI). Lembaga ini
mengarahkan tujuannya bagi pendidikan anak-anak muslim, terutama mengkoordinir
lembaga-lembaga pendidikan Islam, membuat konferensi, seminar, penerbitan
jurnal dan artikel, serta program pendidikan kehidupan keluarga sakinah.
Dilihat dari sisi
nasionalisme minoritas Melayu-Muslim, maka dipahami bahwa mereka telah memiliki
pilihan tepat, yaitu tetap berada di bawah sistem pemerintah Singapura yang
sekuler, meskipun dalam waktu bersamaan mereka harus melestarikan dan
mempertahankan identitas keMelayuan dan keIslamannya. Ada tiga indikator yang
dapat dilihat :
1. Tidak menuntut keistimewaan dan
bersaing secara bebas dengan etnis lain. Hal ini berbeda dengan minoritas
muslim di Philippina dan Thailand. Sikap ini membantu terciptanya keharmonisan
dan integrasi nasional.
2. Mewujudkan stabilitas negara.
Keberhasilan ini mampu menekan sentimen etnis dan golongan menuju sikap
multikultural dan semangat kebersamaan tidak terlepas dari dukungan muslim
Melayu.
3. Menerima nilai-nilai politik
negara. Partisipasi muslim Melayu dalam kemajuan negara Singapura tidak dapat
dipungkiri, karena mereka umumnya menerima prinsip-prinsip pemerintahan,
seperti multiracialism, meritocracy, sehingga loyalitas masyarakat ikut
menentukan keberhasilan sebuah bangsa.
FALSAFAH
MELAYU ISLAM BERAJA (MIB) DAN ISLAM DI BRUNEI
Brunei Darussalam
adalah wilayah yang terletak di Barat Daya pulau Borneo (Sabah). Luas
wilayahnya ±5.765 Km2 dengan ibu kotanya Bandar Sri Begawan. Sistem
pemerintahannya menggunakan sistem Monarchi Parlementer. Brunei merdeka dari
jajahan Inggris di bawah negara persemakmuran Inggris tanggal 1 Januari 1984.
Brunei didiami oleh beragam etnis 2/3 etnis Melayu (90%) muslim; 1/5 etnik Cina
dan sisanya etnis India.
Filosofi politik
Brunei adalah penerapan yang begitu ketat terhadap Melayu Islam Beraja (MIB)
yang terdiri dari 2 dasar :
1.
Islam sebagai Guuiding Principle.
2.
Islam sebagai Form of Fortification
Dari dua dasar ini kemudian muncul penanaman nilai-nilai
keIslaman kenegaraan (pengekalan) dengan tiga konsep, yaitu :
1.
Mengekalkan Negara Melayu.
2. Mengekalkan Negara Islam (hukum Islam
yang bermazhab Syafii – dari sisi fiqhnya – dan bermazhab Ahl Sunnah wal Jamaah
– dari sisi akidahnya).
3.
Mengekalkan negara beraja.
Untuk menerapkan MIB ini maka disusunlah materi secara
cermat dan lengkap untuk dimasukkan dalam kurikulum pelajaran dari pendidikan
terendah sampai tertinggi.
Dilihat dari status
sosial ekonomi masyarakat Brunei, maka negara ini adalah negara kaya raya penuh
dengan berbagai fasilitas. Fasilitas umum, dimulai dari telpon, air, listrik,
angkutan umum, pendidikan, kesehatan dan lainnya semuanya gratis. Tidak ada
kewajiban penduduk membayar pajak perorangan, yang ada hanya pajak perusahaan
(minyak). Kebutuhan hidupnya secara ekonomi sebagian besar dipenuhi melalui
impor, baik makanan maupun alat-alat elektronik dari negara Singapura,
Malaysia, Jepang, USA dan British. Sementara ekspor terbesarnya adalah minyak
bumi ke USA, Singapura dan Korea, dengan surplus yang sangat besar.
Dilihat dari
sosial-budaya, jumlah penduduknya tahun 1985 awal merdeka sebanyak 224.000
orang, kemudian digalakkan penduduknya agar banyak anak dengan pemberian hadiah
bagi yang banyak anak. Maka tahun 1994 menngkat menjadi 370.000 orang. Dan data
tahun 2003 jumlah penduduk sekitar lebih kurang enam ratus ribu orang. Dari
sisi informasi, maka seluruh media radio, televisi, media cetak adalah berada
dalam naungan pemerintah atau kontrol kerajaan. Sehingga kebudayaan asing dari
belahan dunia manapun yang masuk harus melalui filter satu lembaga yang mirip
dengan Departemen Penerangan (Infokom). Informasi itu semuanya diterjemahkan
dalam dialek lokal atau Melayu dan setiap berita yang akan diakses keluar harus
diterjemahkan terlebih dahulu dalam bahasa Inggris.
Berkaitan dengan masuknya Islam pertama, dapat
diketahui berdasarkan bukti sejarah Brunei, yaitu batu di perkuburan Islam
Rangas, Tutong Bandar Sri Begawan bertuliskan Cina bernama P’ukung Chih-mu
meninggal 1264 M, ia adalah keturunan dari Dinasti Sung Selatan yang telah
banyak memeluk Islam. Beliau adalah orang Cina yang masuk Islam. hal ini bisa
dibandingkan dengan masuknya Islam di Cina (Canton) tahun 610 M; Phang Ray
Vietnam tahun 1039 M; Trengganu 1303 M; dan Jawa (Leran Jawa Timur) tahun 1082
M. Brunei bagi kawasan Borneo adalah pusat perkembangan Islam sampai ke wilayah
Philipina, karena zaman pemerintahan Sultan Bolkiah (1485-1524) – sultan ke-5 –
sangat intensif melakukan penaklukan dan menyebarkan Islam di wilayah Borneo
dan Sulu (Philipina Selatan).
Kerajaan Brunei
Darussalam berdiri sekitar tahun 1402 M dengan 19 raja yang telah menduduki
hingga sekarang. Adapun beberapa raja yang punya peran penting bagi
pengembangan Islam diantaranya ;
1. Sulthan Muhammad Syah sultan ke-1
( sebelum masuk Islam ia lebih dikenal dengan Awang Alak Betatar) ia memerintah
sejak tahun 1402 M-1408 M. pada masanya terjadi pengislaman pejabat dan
perangkat kerajaan Brunei Darussalam.
2. Sulthan Bolkiah (1485-1524)
sultan ke-5. pada masa kepemimpinannya Islam disebarkan secara intensif hingga
masuk ke kawasan Borneo (Kalimantan) termasuk wilayah kesultanan Sulu
(Filipina).
3. Sulthan Abdul Mubin (Momin)
sultan ke-12, memerintah tahun 1852-1885 M. pada masanya dilakukan penetapan
mazhab secara resmi sebagai mazhab di kerajaan yaitu untuk fiqih bermazhabkan
syafii dan kalam bermazhabkan Ahli sunnah wal jamaah. Hal ini dilakukan karena
sering terjadinya perselisihan dalam masyarakat dalam masalah agama.
4. Sulthan Hasanul Bolkiah sultan
ke-19 memerintah dari tahun 1968 hingga sekarang. Pada masanya ditetapkan filosofi
kerajaan Berunai sebagai tonggak pemerintahan yaitu dikenal dengan MIB (Melayu
Islam Beraja).
Setelah Brunei
merdeka 1 Januari 1984, Brunei dipimpin oleh Sultan Hasanul Bolkiah Mu’izaddin
Wadaulah sultan ke 19. Sejak tahun 1991 Sultan menerapkan MIB (Melayu Islam
Beraja atau Kerajaan Islam Melayu) sebagai ideologi negara, tujuannya adalah
agar masyarakat setia kepada rajanya, melaksanakan ajaran dan hukum Islam serta
menjadikannya sebagai pedoman hidup dihubungkan dengan karakteristik dan sifat
bangsa Melayu sejati Brunei Darussalam, termasuk menjadikan bahasa Melayu
sebagai bahasa utama.
Sejak Brunei merdeka ada pergeseran jumlah prosentase etnis
yang mendiami Brunei. Melayu sebagai mayoritas (68,7%); Cina (18,3%); India dan
lain-lain (7,9%). MIB mampu mengelaborasi lembaga-lembaga adat dan tradisi
Melayu, berkembangnya institusi-institusi Melayu dan kesultanan Melayu. Dari
penerapan MIB ini terdapat perubahan sosial penduduk sesuai dengan penelitian
yang hasilnya :
1. Penduduk Brunei seluruhnya baik secara
kultural maupun psikologis mampu mengatasi keragaman yang ada.
2. Kebijakan-kebijakan pemerintah
mengenai hukum, ketertiban, kesejahteraan, pendidikan dan pembangunan ekonomi
mendominasi kehidupan rakyat.
3. Proses sosial ini menjadikan
penduduk Brunei mampu memiliki pola hidup yang toleran, harmonis dan hidup
bersama (Form of Courtesy of Brunei Darussalam; UBD, 1991).
Poin pertama di atas,
mengakui keragaman etnik mayoritas warga Melayu meliputi Melayu lokal, dusun,
murut, kedayan, bisayah dan etnis Melayu lain dari Malaysia dan Indonesia.
Kedua, adanya proses birokrasi dalam pembentukan negara modern, dan harus
dipahami serta dipatuhi oleh masyarakat. Ketiga, adanya fenomena yang tampak
perlunya membangun ideologi nasional dan mengartikulasikannya dalam budaya
nasional di tengah-tengah ideologi yang ada di wilayah Asia Tenggara atau
belahan dunia lain.
MIB pada dasarnya berkaitan erat dengan evolusi adat
istiadat dan tradisi Melayu Brunei serta acara-acara upacara keagamaan yang
banyak tertera dalam kalendar muslim yang memberikan wawasan tentang bagaimana
caranya ideologi nasional diungkapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk menunjukkan
identitas ideologi negara, sultan dalam beberapa kesempatan mengeluarkan dekrit
yang isinya :
a. Membuat garis pemisah antara
Islam pribumi dan Islam luar, terutama kaum fundamentalis, termasuk gerakan
al-Arqam dari Malaysia.
b. Sultan mengharusnya warga Melayu
mampu membaca al-Quran dengan mengeluarkan dana 2 juta dolar Brunei untuk
merealisasikan kebijakan ini.
c. Memerintahkan pentingnya
pengajaran bahasa Melayu dalam aksara Jawi (Arab-Melayu), agar masyarakat
memahami hubungan antara bahasa Melayu dengan warisan budaya Islamnya.
d. Tahun 1991 didirikan Tabungan
Amanah Islam Brunei (TAIB), lembaga keuangan yang didasarkan syariat Islam guna
mendukung investasi dan perdagangan meliputi bursa dan pasar uang serta
pembangunan ekonomi atau industri di dalam dan luar negeri
e. Pemerintah juga melarang jual
beli minuman keras di toko-toko atau hotel, dan tempat lain.
Penetapan Mazhab
Syafii (fiqh) dan Mazhab Ahl Sunnah wal Jamaah (tauhid) yang termaktub dalam
MIB sebenarnya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor historis yaitu :
a. Sekitar abad ke-17 dan 18 M sampai masa abad
ke-20-an di Kesultanan Brunei dijumpai kitab-kitab yang dijadikan standar
kurikulum cenderung mengarah ke Mazhab Syafii dan Ahl Sunnah waj Jama’ah,
seperti : Sabilul Muhtadin (karya Daud Fatani); al-Mukhtasar dan Siratal
Mustaqim (karya ar-Raniry); Ghayatut Taqrib fil Irthi wat-Ta’shib, dan
lain-lain.
b. Mazhab Syafii juga menjadi
pegangan para ulama Brunei dan kebanyakan ulama nusantara. Karena umumnya kitab
yang dikarang berbahasa Arab Melayu.
c. Pada tahun 1930-an s/d 1940-an
terdapat pergesekan atau konflik dalam masyarakat, antara kelompok “bergondol”
(tidak berkupiah) karena alasan modern dengan kelompok berkupiah. Dalam
masyarakat ada yang saling mendukung dan menolak.
d. Untuk menetralisir perselisihan
dalam masyarakat dari berbagai kelompok yang ada, maka sejak Sultan Abdul Momin
(raja ke-12 tahun 1852-1885) kerajaan terlibat menjadi pendukung salah satu
mazhab yaitu Syafii dan Ahl Sunnah wal Jamaah.
ISLAM
DI THAILAND SELATAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
Dari sisi sejarah,
berkembangnya Islam di Thailand sudah sejak abad ke-12 M yang berakar dari
kesultanan Pattani. Masyarakat Melayu-Muslim Pattani hingga sekarang tinggal di
empat Provinsi di Thailand bagian Selatan, yaitu Pattani, Yalla, Naratiwat dan
Setul. Sebagian muslim lain juga mendiami Provoinsi Songkla. Seluruh provinsi
yang mayoritas muslim ini dulunya adalah termasuk wilayah Kesultanan Pattani
abad ke-17-18. Kesultanan Pattani ini banyak melahirkan ulama besar, salah
satunya adalah Daud bin Abdullah al-Fattani (w. 1874). Namun akhirnya Pattani
Raya dipaksa mengintegrasi diri dengan pemerintahan Thai pada masa Raja
Chulalongkorn (Rama V) tahun 1902.
Dalam masalah integrasi antara wilayah-wilayah di bagian
Selatan Thailand yang mayoritas Melayu-Muslim, dengan Kerajaan Thai (Siam) yang
mayoritas Cina-Buddhis, di bawah kekuasaan Chulalongkorn telah banyak
menimbulkan persoalan-persoalan bagi masyarakat Melayu-Muslim, seperti masalah
pendidikan, hukum, kebudayaan, bahasa, agama, dan lain-lain. Sistem yang dibina
oleh Pemerintah Thai secara nasional adalah Monarkhi, Agama Buddha dan
Birokrasi yang mesti seragam, padahal Melayu-Muslim Pattani punya identitas
Melayu-Muslim.
Dalam realitas
kultural, ketika proses integrasi berlangsung, umumnya masyarakat muslim
Pattani lebih suka bergabung dengan Malaysia yang pada saat itu di bawah
pemerintahan jajahan Inggris, karena dengan begitu mereka dapat hidup bersama
dengan kelompok seagama, bahasa, budaya dan bangsa. Hidup di bawah Pemerintahan
Muangthai yang agama negaranya adalah agama Buddha, mereka merasa diperlakukan
tidak adil sebagai kelompok minoritas. Di samping itu, mereka telah terisolasi
dari birokrasi negara, karena perbedaan agama, bahasa dan kebudayaan. Ini
nampak jelas ketika Pemerintah Thai mencopot kaum bangsawan Pattani dari kekuasaannya
pada jabatan-jabatan penting di wilayah provinsi yang mayoritas muslim itu, dan
menggantikannya dengan birokrat dari Bangkok atau provinsi bagian Utara. Di
samping itu, proses asimilasi dan akulturasi yang dipaksakan oleh Pemerintah
Thai kepada Muslim Pattani dianggap oleh masyarakat muslim dalam rangka langkah
strategis mengeliminasi budaya Melayu yang identik Islam melekat bagi
penduduknya.
Kebijakan-kebijakan
yang menekan Melayu muslim antara lain ; Pembaharuan Undang-Undang yang
diajukan pemerintah Bangkok, menghendaki agar semua persoalan hukum harus
ditempatkan di bawah hukum Thai, kecuali kasus-kasus yang menyangkut hukum
keluarga dan hukum warisan. Pengangkatan hakim-hakim Islam (Qadhi) dijadikan
hak prerogatif hakim-hakim Thai yang bersidang. Kontrol atas pengangkatan para
hakim-hakim Islam telah menimbulkan kesulitan besar bagi pemerintah dan para
administrator terpaksa mengambil langkah-langkah lain untuk menghilangkan kesan
bahwa merekalah yang mempunyai suara.
Pembaharuan Undang-Undang yang dibuat Pemerintah Thai itu
telah mengacaukan sistem kelembagaan masyarakat Melayu-Muslim yang sudah
terbentuk sejak Kesultanan Pattani. Undang-Undang itu menjadikan Banagsawan
Pattani merasa terasing di negeri sendiri dan tidak percaya pada Pemerintah
Thai. Apalagi tindakan Pemerintah Thai menekan dan mencopot bangsawan Pattani
dari kekuasaannya, dalam waktu bersamaan jabatan-jabatan di provinsi itu
dialihkan kepada birokrat dari Bangkok, yaitu dari provinsi-provinsi bagian
Utara yang memiliki bahasa, agama dan budaya yang berbeda. Ditambah lagi dengan
asimilasi kebudayaan yang dipaksakan oleh Pemerintah Thai terhadap
Melayu-Muslim Pattani. Tindakan ini dianggap oleh masyarakat Melayu-Muslim
sebagai upaya pemusnahan Budaya Melayu dari bumi kelahirannya sendiri.
Salah satu reaksi
kolektif yang pertama muncul terhadap pemberlakuan pembaharuan Undang-Undang
tersebut di atas adalah pada tahun 1903 di daerah Pattani Raya ada gerakan
massif menentang Pemerintah Thai yang dikomandoi oleh Raja Pattani Abdul Kadir.
Bentuk penentangan itu dilakukan dengan dua cara. Pertama, perlawanan yang
bertujuan untuk melakukan pemberontakan terhadap sistem Undang-Undang baru,
tetapi kemudian memancing tindakan penindasan yang lebih keras dari penguasa.
Kedua, gerakan yang dilakukan oleh Raja Pattani untuk meminta campur tangan
pihak asing, terutama Inggris yang pada waktu itu menaruh perhatian besar
terhadap negeri-negeri Melayu di Pattani.
Tekanan bagi Melayu-Muslim Pattani juga muncul ketika Raja
Wachiravut (Rama VI) – anak dari Raja Chulalongkorn – yang memerintah tahun
1910 – 1925. Wachiravut adalah seorang nasionalis Thai yang memperoleh didikan
di Inggris, ia menganut paham patriotik Inggris tentang konsep “Tuhan, Raja dan
Negara” (God, King and State). Simbol ini digunakan untuk mempersatukan
kerajaan hingga ke wilayah Melayu-Muslim Pattani. Kerasnya perjuangan
Melayu-Muslim memaksa Pemeritah Bangkok meninjau kembali pemberlakuan sistem
pendidikan, birokrasi dan campur tangan bidang ekonomi. Raja Wachiravut bulan Juli
1923 memberikan konsesi-konsesi kepada Melayu-Muslim Pattani Raya melalui
instruksi Menteri Dalam Negeri yang isinya.
1. Peraturan yang bertentangan
dengan Islam harus dihentikan segera, dan peraturan baru tidak boleh melanggar
ajaran Islam.
2. Pajak yang dipungut dari warga
Muslim-Melayu Pattani tidak boleh lebih tinggi dari pajak yang dipungut di
negeri-negeri Malaya (Malaysia).
3. Pejabat pemerintah yang akan
ditugaskan di Pattani harus jujur, sopan dan tegas.
Kelonggaran-kelonggaran dan perubahan kebijakan tersebut
yang diberikan pemerintah Thai adalah dalam kerangka otonomi khusus, berkat
perjuangan Melayu Muslim Pattani yang solid dan tangguh. Tetapi pada masa
Perdana Menteri Phibul Songkram (1938-1944) “pemimpin yang represif”, ia
mengeluarkan kebijakan lagi yang bertujuan untuk men-Siamkan kelompok minoritas
non-Buddhis di Pattani. Tahun 1940 mulai diberlakukan aturan-aturan kultural
tertentu, seperti memakai pakaian ala barat agar pakaian muslim ditinggalkan;
bahasa Melayu dilarang diajarkan di sekolah-sekolah negeri tetapi yang
diwajibkan adalah menggunakan bahasa Thai; bahasa Thai juga diwajibkan sebagai
bahasa pengantar dalam percakapan di pemerintahan atau pejabat pemerintah.
Anak-anak muslim yang ingin masuk sekolah-sekolah pemerintah diwajibkan memakai
nama-nama Thai; ketika hendak mencari pekerjaan di jajaran pemerintahan juga
diwajibkan memakai nama-nama Thai.
Otonomi yang
diperjuangkan Muslim Pattani mengalami hambatan, setelah beralihnya kekuasaan
dengan jalan kudeta dari Perdana Menteri Pridi Phanomyong yang demokratis
kepada Perdana Menteri Phibul Songkram yang diktator 9 Juni 1946. Situasi ini
membuat prihatin Ulama Haji Sulong dengan membuat gagasan-gagasan cemerlang
untuk mempertahankan kemurnian Islam. ia dan teman-temannya membuat petisi yang
dikenal dengan Petisi Tujuh, yang isinya :
1. Pengangkatan seorang Komisaris
Tinggi untuk Pemerintah Daerah Pattani Raya dengan wewenang penuh untuk
memecat, mensekors atau mengganti semua pejabat pemerintah yang bekerja di
daerah itu, orang itu harus putra daerah dan dipilih oleh rakyat dalam suatu
pemilihan.
2. Delapan puluh persen (80%) dari
pejabat pemerintah di daerah itu harus Melayu-Muslim (untuk mencerminkan rasio
penduduk).
3.
Bahasa resmi adalah bahasa Melayu dan bahasa Siam.
4.
Bahasa Melayu mulai diajarkan di Sekolah Dasar.
5. Hukum Islam akan diberlakukan di
daerah itu, dengan pengadilan Islam yang terpisah dan bebas dari sistem
peradilan pemerintah.
6. Semua hasil pajak di daerah itu
akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat di daerah itu.
7. Majlis Ulama Provinsi diberi
wewenang penuh untuk menerapkan hukum Islam.
Bila dipahami secara
mendalam, petisi Haji Sulong ini merupakan representasi dari keinginan dan
cita-cita masyarakat Melayu-Muslim Pattani, agar pemerintah Thai memberikan
otonomi khusus, bukan sebuah negara merdeka. Perjuangan ini merupakan usaha
akhir setelah proses berjalan dan mengalami jalan buntu untuk memisahkan diri
dengan Thai dan bergabung dengan Malaysia. Namun cita-cita untuk mempertahankan
Melayu-Muslim yang bersendikan Islam yang mereka anut tetap akan mereka
upayakan dalam bentuk reformasi dan otonomi di berbagai bidang kehidupan.
Pemerintah Thai tidak
bersedia untuk merundingkan soal tuntutan Melayu-Muslim itu, sebab jika
pemerintah memenuhinya, berarti akan membuka peluang bagi kelompok minoritas
etnis yang lain menuntut hal yang sama. Namun tuntutan dalam petisi tujuh itu
tetap telah memberikan dampak positif terhadap posisi tawar menawar
Melayu-Muslim di kemudian hari, karena petisi ini mampu menggalang dukungan
dari kaum ulama secara kolektif dan juga dari kalangan politisi Melayu-Muslim.
Kemudian dukungan juga datang dari sebagian anggota-anggota parlemen yang
beragama Buddha. Menurut mereka tuntutan itu adalah hal yang wajar, karena
kenyataannya tuntutan itu didasarkan atas penderitaan-penderitaan nyata yang
tidak dapat ditanggulangi oleh sistem kekuasaan yang otoriter.
Ketika tuntutan itu disikapi dingin oleh Pemerintah Thai dan
tidak mau berkompromi dengan Melayu-Muslim, maka Haji Sulong melakukan tekanan
akan memboikot Pemilu yang akan diadakan akhir Januari 1948. taktik yang
digunakan Haji Sulong dan teman-temannya adalah politik non-cooperative dengan
pemerintah, bahkan sebagai motivasi mereka, bahwa perjuangan itu dikobarkan
sebagai bentuk jihad fisabilillah, karena untuk mempertahankan identitas Islam.
Sayangnya, rencana pemboikotan itu telah diketahui sebelum aksi itu dilakukan.
Antisipasi Pemerintah Thai dengan penangkapan Haji Sulong bersama anak dan
beberapa rekannya tanggal 16 Januari 1948. mereka dituduh berkomplot untuk
mengubah Pemerintahan Kerajaan Thai, dan mengacam keamanan nasional. Kemudian
pemilihan umum dapat berjalan lancar. Tahun 1952, setelah empat tahun
dipenjara, Haji Sulong dibebaskan dari penjara. Penangkapan Haji Sulong itupun
punya dampak positifnya, karena akhirnya persoalan otonomi dan perjuangan
Muslim Pattani menjadi sorotan dunia internasional, yaitu PBB, Liga Arab dan
Malay Nationalist Party, semua memberikan dukungan untuk memperjuangkan otonomi
khusus di Provinsi-Provinsi di Thailand Selatan.
Pada tahun 1950-an
pemerintah membuat kebijakan baru dalam meninjaklanjuti proses integrasi.
Bidang pendidikan, pemerintah Thai mengintervensi dalam pengaturan pondok
pesantren tidak dapat dielakkan. Program perbaikan pondok dimulai dengan
menawarkan bantuan keuangan. Tahun 1961 – 1966 di Pattani Raya terdapat 287
dari keseluruhan 486 pondok Pesantren ikut berpartisipasi dalam program ini.
Namun para ulama pimpinan pondok mau mendaftarkan hanya sebatas mengharapkan
bantuan. Dengan persyaratan mengubah kurikulum sesuai dengan pendidikan
nasional, akhirnya para ulama menolak. Penolakan itu mengakibatkan pemerintah
Thai mengancam kepada ulama dengan melarang menyelenggarakan pendidikan di
pondok pesantren, karena dianggap melanggar hukum. Akibat ultimatum ini, para
ulama kebanyakan terpaksa memberikan dukungan simbolis melalui pendaftaran
“partisipasi terbatas” dengan harapan nantinya bisa disusun kembali kurikulum
yang mampu mengurangi intervensi dari pemerintah.
ISLAM
DI PHILIPINA DAN PERJUANGAN MELAYU MUSLIM MENUNTUT OTONOMI
Masyarakat Melayu-Muslim Moro merupakan kelompok minoritas
di Philipina (muslim hanya 5% dan Kristen 94%, sisanya lain-lain). Kebanyakan
komunitas muslim hingga sekarang mendiami provinsi-provinsi di Philipina bagian
Selatan, yaitu Kepulauan Mindanao, Sulu, basilan, Palawan, Balabac, tawi-tawi,
Catabato, Lanao Selatan dan bahkan ada juga di jantung kota Manila Philipina
antara lain di Quiapo. Bila dilihat dari kelompok etnik, maka Melayu-Muslim
Moro terdiri dari Suku Maguindanao, Marano, Iranos, Sangir, Kalagon, Tausog dan
Samal. Berdasarkan catatan sejarah bahwa Melayu-Muslim Moro sering terlibat
dalam perjungan melawan kekuatan-kekuatan asing seperti Spanyol, Amerika
Serikat, Jepang dan suku lain di Filipina sendiri sampai terbentuknya
pemerintahan Philipina yang berpusat di bagian Utara.
Islam masuk ke
wilayah Philipina Selatan khususnya kepulauan Mindanao dan Sulu pada tahun 1380
M. seorang tabib dan ulama Arab bernama Syarif Aulia Karim al Makhdum dan Raja
Baginda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam di kepulauan
tersebut. Menurut sejarah, Raja Baginda adalah pangeran dari Minangkabau
Sumatera Barat (kerajaan Pagaruyung). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun
setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulawan Zamboanga dan Basilan. Atas
hasil kerja kerasnya juga akhirnya Kabungsuan Maguindanao, Raja terkenal dari
Maguindanao memeluk Islam. Dari sinilah Islam di wilayah ini dirintis. Pada
masa itu sudah dikenal sistem pemerintahan dan kodifikasi hukumnya yaitu
maguindanao Cole of law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan fathul
al-Qareeb, Taqreeb al-Intifa dan Mir’atu al-Thulab. (Najib Saleebi : 34).
Sejak masuknya
Spanyol ke Philipina pada tanggal 16 Maret 1521, penduduk pribumi muslim telah
mencium adanya maksud lain dibalik ekspedisi ilmiah Ferdinand de Magelhans.
Ketika kolonial Spanyol menaklukkan wilayah Utara dengan mudah dan tanpa
perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah Selatan, Sulu,
Mindanao, Cotabato, dan Lanao Selatan. Mereka menemukan penduduk wilayah
Selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah. Tentara
kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian untuk mencapai Mindanao-Sulu
(Kesultanan Sulu takluk dengan Spanyol tahun 1876 M). mereka juga menghabiskan
lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum
muslim. Walaupun demikian, kaum muslim tidak pernah dapat ditundukkan secara
total. Minimal semangat juang, kultur dan agama mereka.
Masa kolonial Spanyol menerapkan politik devide and rule
(pecah belah dan kuasai) serta mision sacre (misi kristenisasi) terhadap
orang-orang Islam. Bahkan orang-orang Islam distikmatisasi (diberi julukan yang
berkonotasi buruk) yaitu sebagai “moor” (Moro), artinya orang yang buta huruf,
jahat tidak bertuhan dan tukang bunuh. Padahal perlawanan bangsa Moro melawan
penjajah itu dalam kerangka jihad fisabilillah. Perjuangan menentang kolonialis
adalah perlawanan untuk melindungi integritas teritoral dan independensi (dar
al-Islam) di mana Mindanao dan Sulu adalah wilayah kekuasaan Melayu Muslim.
Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam.
Kegagalan Spanyol
dalam menundukkan Mindanao dan Sulu tetap menjadi bahan perbincangan koloni
ini. Bahkan mereka menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari
teritorialnya. Secara tidak sah dan tidak bermoral Spanyol kemudian menjual
Filipina kepada Amerika Sarikat seharga UUS 20 juta pada tahun 1898 M melalui
Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka
sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan
ditandatanganinya Traktat Bates tanggal 20 Agustus 1898 M, isinya AS
menjanjikan kebebasan beragama; kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan
pendidikan bagi bangsa Moro. Namun Traktat tersebut hanya taktik mengambil hati
orang-orang Islam agar tidak memberontak.
Amerika menjadikan Mindanao dan Sulu disatukan mejadikan
wilayah Provinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat
Mindanao dan Sulu tahun 1903. pada tahap selanjutnya tercatat pertempuran
antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona mencatat antara tahun 1914 – 1920M
terjadi 19 kali pertempuaran. Kemudian antara tahun 1898–1902M, pada dasarnya
Amerika ternyata sedang berusaha untuk membebaskan tanah dan hutan di wilayah
tersebut untuk keperluar ekspansi para kapitalis. Kemudian antara tahun 1903 –
1913M dihabiskan Amerika utuk memerangi berbagai kelompok etnis bangsa Moro
yang menentang mereka. Sejak tahun 1920-an itulah – kecuali Lanao yang
gubernurnya orang Amerika – seluruh gubernur di provinsi-provinsi Muslim
seperti Sulu, Zamboanga dan Cotabato dikuasai oleh orang-orang Kristen. Lalu
muncul perlawanan terorganisir dari masyarakat Muslim Moro yang terekspresikan
dalam perjuangan dengan istilah Jihad.
Amerika mengubah
strategi dengan menerapkan penjajahan melalui pendidikan dan pendekatan
persuasif. Keinginan Amerika untuk memasukkan kaum muslim ke dalam arus utama
masyarakat Philipina di Utara dan pada tahap selanjutnya kaum muslim mampu
berasimilasi ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen Utara. Seiring
dengan semakin melemahnya kekuasaan politik para Sultan di Mindanao dan Sulu
kemudian selanjutnya berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila.
AS yang sangat
kapitalis membuat kebijakan seperti Land Registration Act no. 496 (1902) yang
menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis ditandatangani dan
di bawah sumpah. Kemudian hukum tanah Philipine Commission Act no. 718 tanggal
4 April 1903M, yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datuk atau Kepala
Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin
dari pemerintah.
Demikian pula Land Act no.296 diberlakukan 7 Oktober 1903M,
yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land
Registration Act no 496, maka status tanah tersebut adalah tanah negara.
Kemudian ada pemberlakuan hukum yang sangat memberatkan lagi, yaitu The Mining
Law of 1905 yang menyatakan bahwa semua tanah negara di Philipina sebagai tanah
yang bebas terbuka untuk dieksplorasi. Pada prinsipnya ketentuan hukum tentang
tanah tersebut merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum muslim (tanah
adat dan tanah ulayat) oleh pemerintah kolonial AS.
Kemudian muncul pemberlakukan Quino-Recto Collonialization
Act no. 419 pada 12 Februari 1935M menandai upaya pemerintah Philipina yang
lebih agresif untuk membuka tanah, menjajah Mindanao dan Sulu. Pemerintah
berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara, lalu
pemerintah membuka pemukiman besar di Selatan untuk menampung ribuan pemukiman
Kristen, dari Utara khususnya dibangun di Provinsi Cotabato lama. Bahkan
senator Emanuel L. Quezon 1936–1944 M mengkampanyekan program pemukiman
besar-besaran orang-orang Utara ke Selatan dengan tujuan menghancurkan
homogenitas dan keunggulan bangsa Muslim Moro di Mindanao serta berupaya untuk
mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Philipina Utara secara umum.
Dilihat dari segi
politik, sebenarnya pada saat itu politik Philipina sedang bergeser ke arah
yang banyak melibatkan peran Gereja yang berujung pada proses Kristenisasi di
basis wilayah Melayu Muslim Moro. Fusi antara lembaga pemerintahan transisi
dengan gereja ini, walaupun tidak nyata secara struktural, namun nampak
bagaimana gereja Katolik telah banyak memainkan peran politik dengan
mengatasnamakan integrasi nasional.
Pada tahun 1946 Philipina mendapatkan kemeredekaan dari
Amerika Sarikat dengan nama Republik Philipina, yang diambil dari nama Philip
II, seorang Raja Spanyol ketika memulai penjajahan di pulau itu pada abad
ke-16. Namun kemerdekaan ini tidak banyak memberi arti bagi bangsa Moro. Karena
hilangnya penjajah Amerika dari Philipina muncul penjajah baru Pemerintah
Philipina.
Perjuangan bangsa
Moro pada periode ini memasuki babak baru dengan terbentuknya front perlawanan
yang lebih terorganisir dan maju seperti Muslim Independent Movement (MIM) pada
tahun 1968 M. Anshar el_Islam, Moro National Libration Front (MNLF) pada tahun
1971 M, Moro Islamic Libration Front (MILF), MNLF reformasi dan BMIF. Namun
sayangnya gerakan perlawanan yang terorganisir ini memicu terpecahnya kekuatan
bangsa Moro menjadi beberapa faksi yang akhirnya melemahkan mereka. Perjuangan
muslim Moro secara garis besar dibagi dua :
1. Kelompok moderat, yang didukung
oleh mayoritas penduduk berusaha mempertahankan diri sebagai masyarakat muslim,
tetapi mereka mau masuk dalam sistem politik Philipina demi mencapai tujuan
mereka dengan menggunakan cara-cara yang legal dan konstitusional. Mereka ikut
juga berpartisipasi dengan pemerintah untuk menemukan penyelesaian damai
terhadap masalah Muslim Moro. Kelompok pertama ini setuju dengan memperjuangkan
otonomi.
2. Kelompok yang berusaha
memperjuangkan kemerdekaan, dengan cara mencari perhatian dunia internasional,
khususnya negara-negara Islam, tentang nasib mereka yang tertindas dan dijajah.
Langkah lain adalah mereka melakukan perang grilya secara intensif dan sporadis
untuk melemahkan Pemerintah Philipina yang berpusat di Utara.
Tekanan makin gencar
ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986 M). Dibandingkan dengan masa
pemerintahan semua Presiden Philipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos, maka
masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif
bagi bangsa Moro. Pembentukan Muslim Idependent Movement (MIM) pada tahun 1968
M dan Moro Libration Front (MLF) pada tahun 1971 tak bia dilepaskan dari sikap
politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Prokalmation no. 1081
itu.
Pada tahun 1976 M, Pemerintah Philipina dengan Melayu Muslim
Moro – dalam hal ini diwakili oleh Moro National Libration Front (MNLF)
pimpinan Nur Misuari yang berideologikan Nasionalis-Sekuler – menandatangani
hasil kesepakatan dari Tripoli Agreement. Intinya pemerintah menciptakan
kesatuan politik untuk memperkuat pemerintah lokal untuk mencapai bangsa yang
mandiri dan otonom. Fungsinya antara lain ; pertama, mendorong tercapainya
perdamaian dan kestabilan kedua belah pihak. Kedua, menempatkan kembali
orang-orang yang sebelumnya menyingkir ke tempat lain agar kembali ke
wilayahnya semula. Dan ketiga, mempercepat pembangunan wilayah di bidang sosial
ekonomi.
Perjuangan
Melayu-Muslim Moro selanjutnya, MLF sebagai induk perjuangan bangsa Moro
akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Libration Front (MNLF) pimpinan
Nurululhaj Misuari yang berideologikan Nasionalis-Sekuler. Kedua, Moro Islamic
Libration Front (MILF) pimpinan Selamat Hasyim, seorang ulama yang murni
berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Philipina
Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata Moro National Libration Front
(MNLF) pimpinan Nurululhaj Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi
kelompok MNLF reformasi pimpinan Dimas Pundato tahun 1981M, dan kelompok Abu
Sayyaf pimpinan Abdurazak Janjalani tahun 1993M. Tentu perpecahan ini
memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan akibat terserak-seraknya
kekuatan muslim.
Kebijakan Pemerintah
Philipina dari periode satu dengan yang lain pada dasarnya tidak berubah, yaitu
; Pertama, pemerintah masih memegang pandangan kolonial yaitu “Moro yang baik
adalah Moro yang mati”. Kedua, kaum muslim adalah warga negara kelas dua di
Philipina. Ketiga, kaum muslim adalah penghambat pembangunan. Keempat, masalah
mengintegrasikan mereka dalam arus utama (mainstream) di tubuh politik nasional
(Abhoun Lingga : 9-11). Karena itu untuk menyelesaikan masalah Moro, Pemerintah
Manila mengambil kebijakan strategis sebagai berikut :
1. Kebijakan “cari dan hancurkan”
(search and destroy policy) atau militerisasi. Kebijakan ini diterapkan dalam
kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh orang Muslim Moro. Dan ini dilakukan
tanpa memperhatikan hak-hak sipil warga dan batas-batas konstitusional.
2. Kebijakan diskriminasi dan
isolasi terhadap hak-hak bernegara, priveleges, penugasan penunjukkan,
perwalian dan lain-lain. Ini dapat dilihat dari tidak adanya warga muslim yang
menduduki jabatan strategis di tubuh Pemerintahan Philipina.
3. Kebijakan pemusnahan seperti
pembunuhan membabi-buta dan pembantaian penduduk sipil sebagaimana yang terjadi
dalam pembantaian Kawit, Jabidah, Masjid Mannili, pembakaran Kota Jolo.
4. Kebijakan pemerintah untuk
memindahkan orang-orang Kristen dari Luzon dan Provinsi Visayan ke daerah
muslim serta mengubah komposisi populasi dan demografi di wilayah muslim
tersebut. Hal ini pernah terjadi di Kota General Santos, Wao, Lanao del Sur,
Edcor de Lanao del Norte.
5. Kebijakan memecah belah, misalnya
pemimpin Muslim Moro seringkali diadu-domba satu sama lain. Langkah-langkah
lain dengan cara pemecahan dan pembaginan provinsi serta unit politik muslim.
Kebijakan ini semakin memarginalkan posisi muslim, baik secara politik maupun
ekonomi.
6. Kebijakan membujuk Muhajidin
Moro. Melalui kebijakan ini para Mujahidin dibujuk untuk turun gunung, meneyerahkan
senjata mereka dan tinggal di kota. Selama ini kebijakan tersebut telah
berhasil mengurangi secara drastis kekuatan Moro National Libration Front
(MNLF).
ISLAM DI INDOCINA
A. MYANMAR
1. NEGARA MYANMAR
Republik Persatuan Myanmar (juga dikenal sebagai Birma,
disebut "Burma" di dunia
Barat) adalah
sebuah negara di Asia
Tenggara.Negara
seluas 680 ribu km² ini telah diperintah oleh pemerintahan militer sejak kudeta tahun 1988.Negara ini adalah negara berkembang dan memiliki populasi lebih dari 50 juta jiwa.Ibu
kota negara
ini sebelumnya terletak di Yangon sebelum dipindahkan oleh
pemerintahan junta militer ke Naypyidaw pada tanggal 7
November 2005.[1]
Agama Islam di Negara ini adalah agama minoritas karna hanya
terdapat 4% dari total keseluruhan agama yang ada di Myammar.Di Myanmar
sendiri,terdiri atas banyak etnik dan Rohingya adalah grup etnis yang
kebanyakan beragama Islam
di Negara Bagian Rakhine Utara di Myanmar Barat. Populasi Rohingya terkonsentrasi di dua kota utara
Negara Bagian Rakhine (sebelumnya disebut Arakan).
2. SEJARAH MASUKNYA
ISLAM
Islam sampai ke Myanmar melalui banyak jalan yaitu, para
pedagang Arab muslim menetap di garis pantai selama abad pertama hijriyah (ke 7
M) atau sesudahnya, mula mula di atas pantai Arakan, dan kemudian ke selatan.
Kemudian disusul oleh komunitas india dan malaysia (melayu) yang telah efektif
dalam menyebarkan agama islam. Akhirnya para pengungsi dari Yunan pada abad ke
19 menetap di utara Negara itu.Negara muslim pada saat itu didirikan di Arakan
ketika Sultan Bengal yang Muslim Nasiruddin Mahmud Shah (1442-1459 M) membantu
raja Sulaiman Naramitha membangun negara Mrauku yang muslim.
Pemerintahan muslim berlangsung beberapa abad di Arakan dan
meluas ke selatan sejauh Moulmein selama pemerintahan Sultan salim Shah Razagri
(1593-1612 M). Pada saat itu bahasa Persia merupakan bahasa baku negara muslim
Arakan. Ibukotanya Myohaung.
Pada 1784 Myanmar yang pengikut budha menaklukan negara muslim, diikuti antara 1824 dan 1826 oleh Inggris. Maka pada saat Myanmar merdeka pada 1948, Arakan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan negara Myamnar.
Pada 1784 Myanmar yang pengikut budha menaklukan negara muslim, diikuti antara 1824 dan 1826 oleh Inggris. Maka pada saat Myanmar merdeka pada 1948, Arakan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan negara Myamnar.
a. Proses Islamisasi
Islam
masuk ke Myanmar khususnya wilayah Arakan adalah pada abad ke-1 H/7 M yang
dibawa oleh para pedagang Arab yang datang ke Akyab, ibu kota Arakan. Namun
Muslim di Arakan dalam proses islamisasi memakan waktu yang lama untuk
mewujudkan suatu kekuasaan, mereka baru dapat mendirikan Negara Islam Arakan
pada abad ke-8 H/14 M. Proses penyebaran Muslim dari pantai Arakan kemudian
lanjut ke selatan dan masuknya Islam ke Myanmar tidak hanya dibawa oleh para
pedagang Arab, Muslim Malaysia dan India juga mempunyai peranan yang penting
dalam penyebaran Muslim di Myanmar.
Kekuasaan
Islam di Arakan berjalan lebih kurang selama 350 tahun dengan 48 orang sultan
yang memerintah silih berganti,hingga dijajah oleh Burma pada tahun 1784 dan
penjajahan ini berlanjut dengan diambil alih oleh British pada tahun 1822. Pada
tahun 1880-an orang-orang Islam di India berbondong-bondong hijrah ke Myanmar,
sehingga jumlah Muslim semakin meningkat di Myanmar.
Pada tahun
1948 British memberikan kemerdekaan kepada Myanmar, dengan demikian Arakan
daerah kekuasaan Islam menjadi daerah kekuasaan Myanmar.Hal ini membuat Muslim
tidak senang, karena mereka diperlakukan secara kejam oleh pemerintah bahkan
kewarganegaraan mereka dinafikan.Kondisi ini telah membuat Muslim menuntut agar
mereka diberi otonomi untuk menjalankan pemerintahan sendiri.
b. Generasi Pertama Muslim Myanmar
Generasi
awal Muslim yang datang ke delta Sungai Ayeyarwady Burma, yang terletak di
pantai Tanintharyi dan di Rakhine bermula pada abad ke 9, sebelum pendirian
Imperium pertama Burma pada tahun 1055 AD oleh Raja Anawrahta dari Bagan.
Keberadaan orang-orang Islam dan da’wah Islam pertama ini didokumentasikan oleh
para petualang Arab, Persia, Eropa, dan Cina abad ke 9.Orang-orang Islam Burma
merupakan keturunan dari orang-orang Islam yang menetap dan kemudian menikahi
orang-orang dari etnis Burma setempat.Orang-orang Islam yang tiba di Burma
umumnya sebagai pedagang yang kemudian menetap, anggota militer, tawanan
perang, pengungsi, dan korban perbudakan. Bagaimanapun juga , ada diantara
mereka yang mendapat posisi terhormat sebagai penasehat raja, pegawai kerajaan,
penguasa pelabuhan, kepala daerah, dan ahli pengobatan tradisional.
Muslim
Persia tiba di utara Burma yang berbatasan dengan wilayah Cina Yunnan
sebagaimana tercatat pada Chronicles of China pada tahun 860. Orang-orang Islam
Burma kadang-kadang di sebut Pathi, sebuah nama yang dipercayai berasal dari
Persia. Banyak perkampungan di utara Burma dekat dengan Thailand tercatat
sebagai penduduk Muslim, dengan jumlah orang-orang Islam yang sering melebihi
penduduk lokal Burma. Dalam sebuah catatan,
Pathein
dikatakan mendiami Pathis, dan pernah dipimpin oleh Raja India Muslim pada abad
ke 13.Para pedagang Arab juga tiba di Martaban, Margue, dan ada pula
perkampungan Arab di kepulauan Meik.
Selama
pemerintahan Raja Bagan Narathihapate (1255-1286), pada masa perang pertama
orang Cina dan Burma, Muslim Tartar Kublai Khan menyerang Kerajaan Kafir dan
menduduki wilayah hingga ke Nga Saung Chan. Pada tahun 1283, Kolonel Nasruddin
dari Turki menduduki wilayah hingga ke Barnaw (Kaungsin). Orang Turki (Tarek)
disebut Mongol, Manchuria, Mahamaden atau Panthays.
c. Muslim Setelah Kemerdekaan
Myanmar
Setelah
Myanmar merdeka dari British pada tahun 1948, pemerintah Myanmar senantiasa
waspada terhadap kedudukan Muslim yang penting di ibu kota Negara. Kemudian
Muslim juga banyak yang mempunyai jabatan penting di pemerintahan disamping
keterlibatan mereka dalam urusan perniagaan yang membuat Muslim memperoleh
kemewahan dari hasil perdagangan.Hal ini telah melahirkan sentimen bagi
pemerintah Myanmar dan akhirnya terjadilah kontroversi antara Muslim dengan
orang Myanmar yang berakibat banyaknya nyawa orang-orang Islam yang menjadi
korban.
Rasa
sentimen yang begitu mendalam juga menyebabkan munculnya tindakan keganasan
dari pemerintah Myanmar terhadap orang Muslim tanpa perikemanusiaan. Tahun
1930-an merupakan permulaan era kemelaratan dan penindasan bagi orang-orang
Islam di Myanmar. Beberapa serangan kejam telah dilakukan terhadap Muslim pada
tahun 1931 sampai 1938 dan serangan yang paling ganas serta kejam telah terjadi
di Yangon dan Mandanay. Di perkirakan dalam peristiwa tersebut sebanyak 200
orang Muslim terbunuh akibat keganasan tentara Myanmar.
Tanah-tanah
Muslim dirampas, pemerintah dengan masyarakat Buddha juga menindas masyarakat
Islam dengan memeras uang dan memaksa mereka memberi opeti serta memenjarakan
mereka dengan sewenang-wenang.Sebagian umat Islam di usir dan tidak boleh
kembali kekampung halamannya.Menjelang tahun 1971 dan tahun-tahun berikutnya,
kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Muslim terus
meningkat tajam. Pada tahun 1977 pemerintah Myanmar melancarkan Operasi Raja
Min yang juga dikenal dengan Operasi Naga Min, yaitu operasi benci untuk
memeriksa semua penduduk dan mengklasifikasikan mereka kepada dua kategori,
yaitu penduduk Burma dan rakyat asing.
Orang-orang
Buddha mulai di tempatkan di daerah-daerah Muslim dan mesjid-mesjid dibakar,
gedung-gedung perniagaan milik orang-orang Islam di kota Akyab juga dibakar.
Orang-orang Islam diejek, dipukul dan dibunuh sewenang-wenang, wanita-wanita
diperkosa serta sebagian besar dipaksa menikah dengan tentara Myanmar yang
beragama Buddha. Kondisi yang lebih parah lagi pada tahun 1964 orang Muslim
tidak dibenarkan lagi melaksanakan ibadah haji, walaupun pada tahun 1980
kebijakan itu dicabut tetapi perbelanjaannya sangat mahal dan terpaksa melalui
berbagai prosedur yang sangat rumit.
d. Perlawanan Muslim
Perlakuan
pemerintah Myanmar yang tidak baik terhadap Muslim telah membangkitkan semangat
Muslim untuk melakukan pemberontakan dan perlawanan terhadap pemerintah
Myanmar.Apalagi keinginan otonomi tidak mendapat sahutan dari pemerintah yang
sangat kejam, semakin membuat Muslim sadar karena mereka sudah diotak atik oleh
pemerintah sesuai seleranya. Puncak perlawanan Muslim terjadi pada tahun 1948
berlanjut sampai tahun 1954 yang dikenal dengan Pemberontakan Mujahid yang
dipimpin oleh Kasim. Namun Kasim akhirnya tertangkap, tetapi perjuangan umat
Islam terus berjalan sampai tahun 1961 dalam memperjuangkan kemerdekaan dari
pemerintah.
Perjuangan
yang pada mulanya sempat memudar akhirnya pada dekade 1970-an dan 1980-an
kembali aktif. Semenjak itu, perlawanan umat Islam tidak henti-hentinya
terhadap pemerintah yang selalu bertindak zalim terhadap umat Islam. Kemudian
semenjak tahun 1980, Muslim dari daerah lain dipaksa keluar dari Myanmar dengan
penganiayaan yang tidak kalah pelaknya dan ribuan Muslim lari ke Thailand dan
Malaysia.
B.
KAMBOJA
1.
NEGARA KAMBOJA
Kamboja terletak di bagian Timur Asia, berbatasan dengan
Thailand dari arah utara dan barat, Laos dari arah utara dan Vietnam dari arah
timur dan selatan. Luas negara ini 181.055 Km2 dengan jumlah
penduduk 11.400.000 jiwa, 6% beragama Islam dan mayoritas beragama Budha serta
minoritas beragama Katholik.
2.
SEJARAH MASUKNYA ISLAM
Beberapa ahli sejarah beranggapan bahwa Islam sampai di
Kamboja pada abad ke-11 Masehi.Ketika itu kaum muslimin berperan penting dalam
pemerintahan kerajaan Campa, sebelum keruntuhannya pada tahun 1470 M, setelah
itu kaum muslimin memisahkan diri.
Sepanjang sejarah Kamboja baru-baru ini, kaum muslim tetap
teguh menjaga pola hidup mereka yang khas, karena secara agama dan peradaban
mereka berbeda dengan orang-orang Khmer. Mereka memiliki adat istiadat, bahasa,
makanan dan identitas sendiri, karena pada dasarnya, mereka adalah penduduk
asli kerajaan Campa yang terletak di Vietnam yang setelah kehancurannya, mereka
hijrah ke negara-negara tetangga di antaranya Kamboja, ini terjadi sekita abad
ke-15 Masehi.
3.
ISLAM DAN BANGSA KHMER
Pada
permulaan tahun 1970-an, jumlah kaum Muslimin di Kamboja sekitar 700 ribu
jiwa.Mereka memiliki 122 mesjid, 200 mushalla, 300 madrasah Islamiyyah dan satu
markas penghafalan Al-Qur’an. Namun karena berkali-kali terjadi peperangan dan
kekacauan perpolitikan di Kamboja dalam dekade 70-an dan 80-an lalu, mayoritas
kaum Muslimin hijrah ke negara-negara tetangga.
Bagi
mereka yang masih bertahan di sana menerima berbagai penganiayaan; pembunuhan,
penyiksaan, pengusiran. Termasuk juga penghancuran masjid-masjid dan sekolahan,
terutama pada masa pemerintahan Khmer Merah.Merek dilarang mengadakan
kegiatan-kegiatankeagamaan.
Hal ini
dapat dimaklumi, karena Khmer Merah berfaham komunis garis keras, mereka
membenci semua agama dan menyiksa siapa saja yang mengadakan kegiatan
keagamaan, Muslim, budha ataupun lainnya. Selama kepemerintahan mereka telah
terbunuh lebih dari 2 juta penduduk Kamboja, di antaranya 500.000 kaum
Muslimin, di samping pembakaran beberapa masjid, madrasah dan mushaf serta
pelarangan menggunakan bahasa Campa, bahasa kaum Muslimin di Kamboja.
Baru
setelah runtuhnya pemerintahan Khmer Merah ke tangan pemerintahan baru yang ditopang
dari Vietnam, secara umum keadaan penduduk Kamboja mulai membaik dan kaum
Muslimin yang saat ini mencapai kurang lebih 45.000 jiwa dapat melakukan
kegiatan keagamaan mereka dengan bebas, mereka telah memiliki 268 masjid, 200
mushalla, 300 madrasah Islamiyyah dan satu markas penghafalan Al-Qur’an.
4. NASIB MUSLIM KAMBOJA
Kamboja pernah mengalami suatu kejadian yang mengguncang panggung sejarah umat
Islam , baik menyangkut politik maupun ekonomi. Dominasi kaum Muslim dalam
perdagangan dan upaya penyiaran Islam yang amat gencar dilakukan di daerah ini
membantu memfasilitasi naiknya pamor kelompok Muslim di kerajaan Kamboja. Di
Kamboja , peranan dan pengaruh kaum Muslim lebih besar karena beberapa abad
sebelumnya di Champa yane kemudian bergabung dengan kerajaan Kamboja pernah
terdapat kesultanan Muslim.2
Penduduk Muslim Kamboja , sebagaimana kaum Muslim lain, bersifat kosmopolitan.
Mungkin karena faktor inilah yang kemudian menjadikan penguasa Kamboja masuk
Islam di awal abad ketujuhbelas.
Masuk Islamnya penguasa Kamboja ini lebih memperkuat posisi dominasi masyarakat
Muslim di Kamboja; namun, seperti pengalaman Ayutthaya, ketidakstabilan
hubungan internasional di wilayah ini memengaruhi posisi masyarakat Muslim di Kamboja.
Mereka tidak mampu mencapai posisi sebelumnya, dan Islam tidak bisa memasuki
elit penguasa sebagaimana di kerajaan lain di Asia Tenggara. Konspirasi
dikalangan istana negara mengakhiri kekuasaan islam yang singkat di Kamboja.
Nasib kaum Muslim yang berubah dengan cepat itu merupakan akibat dari serangan
gencar yang dilakukan Eropa yang kemudian mengakhiri dominasi kaum Muslim di
Asia Tenggara.
Dalam tragedi yang lebih tragis, ketika Rezim Pol Pot yang
telah mengusir penduduk kota besar, menghancurkan pagoda-pagoda, masjid-masjid,
bank-bank serta tempat-tempat bisnis dan membantai kaum intelektual. Khmer
Merah merusak seluruh infrastuktur Kampuchea, mulai dari orang terpelajar dan
intektual , kemudian menyerang bangunan-bangunan serta semua instasi lainnya
yang dibutuhkan bagi kehidupan negeri ini. Dalam penghancuran ini orana-orang
muslimlah yang paling menderita.
Muslim Kamboja dalam acara yang tertutup, mendapat bantuan dari Bank
Pembangunan Islam (Islamic Development Bank IDB) yang digunakan semata-mata
untuk kaum Muslim yang menderita kekurangan bahan pokok dalam segala
sektor.
Dari sebuah laporan statistik mengenai penduduk yang melek
huruf di Kamboja pada tingkat sekolah dasar tercatat 1.304.225 anak yang
761.811 diantaranya duduk di tahun pertama. Usaha ini yang baru dimulai pada
1975 tergolong sangat membanggakan , mengingat buku-buku pelajaran sekolah
ditulis tangan oleh sekelompok guru untuk semua tingkat pendidikan.
Namun, di bawah rezim Pol Pot sekolah-sekolah ditutup atau ditinggalkan dan
bantuan serta bahan pelajaran sekolah dimusnahkan. Tak ada anak yang
bersekolah. Anak – anak yang berusia 6-10 tahun tak pernah sekolah dan semuanya
duduk di tahun pertama sekolah mereka. Bersama mereka terdapat juga mereka yang
berusia 10-15 tahun; artinya, mereka yang pernah bersekolah selama 1,2,3, atau
4 tahun, tetapi telah keluar. Oleh karena itu, mereka telah lupa pada
pelajarannya.
Dalam iklim yang tertekan dan tertindas, telah muncul
pemimpin yang sadar akan perlunya pembebasan kaum Muslim di Kamboja. Salah
seorang pemimpin komunitas Muslim, yakni Dr. Abdul Kayoun yang mewakili kaum
minoritas ini duduk di badan tertinggi , yaitu Front Persatuan Nasional. Teman
seperjuangannya , Al-Taman Ibrahim, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo serta
Mohammad Wan-Wan yang bertanggung jawab atas urusan agama dalam Front
Persaudaraan nasional Nasional itu terus berjuang untuk pembebasan kaum Muslim
disana. Gambaran lengkap mengenai situasi komunitas islam yang sangat menderita
di bawah rezim kolonial, Sihanouk, Lon Nol dan Pol Pot terdahulu ,strukturnya,
para pemimpinnya serta orang-orang militannya , banyak nama –nama para
penentang yang tewas sebagai syuhada bagi Islam dalam berbagai rezim.
Penduduk Muslim di Kamboja berkisar 800.000 orang, tetapi lebih dari 70%
diantaranya telah terbantai. Dari 113 masjid, hanay 20 yang tertinggal,
sedangkan yang lainnya telah dimusnahkan. Bahkan kedua puluh masjid tadi
setelah diperbaiki, diruntuhkan pula. Para mantan pemimpin agama yang di bantai
seperti Mufti Haji Abdullah, dibanati juga seperti Hagi Slimane Chekri dan Haji
Slimane Fekri.
Lebih dari 300 guru terlibat dalam pengajaran agama kepada para anggota
komunitas. Ada beberapa syeikh yang terkenal , sembilan pemegang diplomaAl-Azhar,
lima dari universitas Islam Madinah yang lainnya mendapat pendidikan di
Universitas Al-Mohammadiyah di Kelantan, Malaysia, dan ada juga beberapa orang
yang dididk di India. Dari semua ini , hanya 38 orang yang masih hidup ,
sisanya telah dibunuholeh rezim Pol Pot ; dan dari lulusan Al-Azhar hanya dua
orang saja yang tertinggal.
Ada pula masjid yang didirikan tahun 1813 , tetapi dibangun kembali dan
diperbaiki 60 tahun yang lalu. Sekitar 40 sampai 50 jamaaah berkumpul untuk
menunaikan shalat harian. Pada hari-hari jumat masjid ini penuh sesak dan
banyak yang harus shalat di pekarangan. Masjid hanya memiliki satu
Al-quran berbahasa Arab.
Negeri Kamboja ini sebelumnya mempunyai 500 orang dokter, tapi hanya 40 orang
yang masih hidup.
Tempat pembantaian oleh Pol Pot yaitu di kamp pembantaian di Toul Sleng.Kamp
ini terletak dalam sebuah gedung bekas sekolah menengah atas yang dahulu
mempunyai 2000 murid, kemudian diubah oleh Pol Pot menjadi sebuah tempat untuk
penyiksaan,penjara dan kuburan.
UNICEF pada 1979, telah mengoordinasikan semua kegiatan PBB dengan menugaskan
delapan orang pakar. Wakil FAO membantu menhidupkan kembali kegiatan pertanian.
Komisi tinggi untuk pengungsi mengarahkan tiga pakar yang bertanggung jawab
untuk menerima dan menempatkan kembali pada pengungsi yang kembali ke negeri
ini. 185.000 pengungsi kembali dari Thailand, 115.000 dari Vietnam dan 20.000
dari Laos. Dari jumlah 320.000 ini, sekitar 20% adalah Muslim.
Meskipun komunitas Islam menderita akibat pemusnahan terencana yang
besar-besaran selama periode dari tahun 1975 hingga Januari 1979, kini para
anggota komunitas ini bebas melaksanakan kewajiban agamanya dan
pemerintah sekarang ini sedang berupaya dengan sungguh-sungguh untuk memberikan
mereka perwakilan di semua tingkat.
Mayoritas
Muslim berasal dari etnis Cham. Sulit memastikan kapan Cham mulai mengenal
Alquran. Islam memasuki masyarakat Cham diperkirakan pada periode Dinasti Zoong
di Cina (960-1280). Komunitas Muslim Cham sudah ada pada abad ke X. Tampaknya
melalui hubungan dengan orang-orang melayu lah Cham menjadi Muslim. Cham,
setelah kejatuhan negeri pada tahun 1470 , menyaksikan sebagian anggota
komunitas mereka mengungsi ke Kamboja di mana mereka semua adalah Muslim.
Masih tersisa , fenomena kepemimpinan dan hierarki keagamaan di kalangan Muslim
Kamboja terdiri dari seorang kepala kerohanian bagi seluruh komunitas yakni
Mufti. Di bawahnya terdapat tiga penanggung jawab administrasi yaitu tuan kalik,
vadjak dan tuan pake. Di bawahnya lagi , di tingkat masjid terdapat hakim (atau
ke vat), dan imam. Khatib bertugas menbacakan doa-doa dan memimpin jemaah,
sedangkan bilal bertanggung jawab atas ketertiban agama. Namun
demikian, perlu diketahui surut ke belakang, ada hasil penelitian yang
menggambarkan tentang bagaimana sesungguhnya Islam hidup berdampingan dengan
sesama non-Muslim (Buddhis), dan pemahaman mereka tentang Islam
sebagaimana dituturkan oleh Aymonier, bahwa tahun 1891 , diketahui hubungan antara
umat Muslim dengan pendeta-pendeta cukup baik. Menurut beliau , orang-orang
Muslim terpisah dari dunia Islam , akibatnya mereka tidak memiliki semangat
untuk menyebarkan agama mereka. Praktik-praktik keagamaan mereka melemah ,
hukum-hukum kesucian tidak dipatuhi dan sembahyang lima waktu hanya dikerjakan
pada hari jumat dan pada bulan Ramadhan. Usaha mempelajari Alquran berkurang .
mereka tetap meminum alkohol (Aymonier,1891:79-80). Ner (1941) yang menulis
sesudah itu merasakan orang-orang Muslim tidaklah merupakan merupakan
orang-orang Islam yang benar-benar. Mereka masih memegang sebagian kepercayaan
pra-Islam, dan juga mengambil sebagian dari kepercayaan dan praktik-praktik
kelompok-kelompok tetangga mereka. Ner melihat mereka tidak mengerjakan sembahyang
lima waktu dan juga tidak mematuhi larangan memakan daging babi dan minuman
alkohol. Bagaimanapun mereka tetap mengakui tokoh-tokoh makhluk halus dari
agama Islam. Malah orang-orang non muslim pun mempunyai sikap hormat pada Allah
SWT. Orang – orang Muslim Kham juga mempunyai kepercayaan pada Muhamad dan
inkarnasi dari Porathulak (Rasul Allah , salah satu Nabi). Mereka juga percaya
kepada Jiburailak(Jibril) yang telah dicipta oleh Muhammad dan Pohaova(Hawa)
dan Po Adam, yang keduanya dicipta oleh Ovlah. (Aymunier , 1891: 40-47). Untuk
lebih jelas baca tulisan Lucian M.Hanks dan Jane Richardson hanks, dalam Berita
Antropologi ,loc.cit., hlm. 124.
Upacara- upacara Islam dilaksanakan dan dihormati; bulan Ramadhan (boulan Oek)
dan bulan Haji (boulan Cek Hadjih) serta bulan Tuhan (olan Ovlah). Melut suatu
upacara pengkhitanan anak-anak , serta tamat Alquran , suatu ritual yang lain
untuk menghormati orang-orang yang telah menamatkan membaca Alquran sampai
sekarang tetap dilaksanakan.16
Keterangan mengenai pemusnahan besar-besaran yang terencana dari pihak Khmer
Merah ini agaknya kurang lengkap dan berbias. Sekalipun begitu, jelaslah bahwa
antara dua pertiga hingga tiga perempat Muslim dibunuh secara individual ataupun
kolektif hanya karena mereka beragama Islam.17
Pembunuhan massal yang sistematis terhadap kaum muslim di Kamboja timbul dari
rasa kebencian terhadap agama. Hal ini mungkin karena ternyata kepercayaan
kepada Allah tak pernah dapak dirukunkan dengan kepatuhan yang membuta kepada
Angkar , organisasi tertinggi Khmer Merah.
Meskipun umumnya mereka berasimilasi dengan penduduk Khmer lainnya yang pada
dasarnya Buddhis , bagian terbesar dari kaum Muslim Cham tinggal di wilayah
Tonle Sap dan di tepi Sungai Mekong. Mereka juga bermukim di provinsi Kampot
dan sekitar ibukota. Kebanyakan mereka adalah nelayan, petani, dan peternak.
Dewasa ini mereka sedang berusaha memulai kembali kehidupan mereka.
Pertama-pertama yang digarap dalam hal ini material , karena kebanyakan di
antaranya hancur luluh. Perlahan-lahan mereka mendapatkan kembali sarana untuk
menghidupi keluarga mereka dan komunitas mereka yang bercerai-berai , agar
tetap hidup seperti orang-orang Khmer yang lain.
Meski merupakan bagian dari minoritas agama dan etnik
sekaligus , orang Cham tidak berselisih dengan tetangga meraka yang beragama
Budha. Kedua unsur ini hidup dengan selaras.
Kelangsungan hidup komunitas Muslim Cham di Kamboja terjamin dalam milieu
Budddhis yang secara tradisional bersikap toleran. Wajar saja bila komunitas
Muslim Cham dan mayoritas Budddhis Khmer harus bersama-sama membuka halaman
baru dalam sejarah negeri mereka. Namun, ada benarnya juga bahwa sejarah
komunitas Muslim Cham akhir-akhir ini masih tetap tidak dikenal selain oleh
beberapa pakar , dan bahwa ia patut dikenal lebih baik.
C.
VIETNAM
1.
NEGARA VIETNAM
Vietnam berbentuk negara Republik Sosialis dan salah satu
negara Asia Tenggara yang terletak di antara Kamboja dan Republik Laos di
bagian barat dan Cina di bagian utara.
Adapun jumlah penduduknya mencapai 85 Juta jiwa, Ibu kotanya
Hanoy, dan kota terbesarnya adalah Ho Chi Minh City atau Saigon (nama lama).
Luas negaranya mencapai 329560 km2, dan terbagi pada 59 wilayah daerah dan 5
kota besar yang kesemuanya tunduk pada pemerintah pusat di kota Hanoy. Di
antara kota-kotanya adalah Ho Chi Minh City atau Saigon, dan Haiv Onh.
Menurut sensus tahun 1999, 80.8% orang Vietnam tidak
beragama.Keanggotan Islam Bashi dan Sunni
biasanya diakreditasikan kepada etnis minoritas Cham, tetapi ada juga pengikut Islam lainnya di bagain Barat Daya Vietnam.Pemerintah Vietnam
telah dikritik atas kekerasan beragama.Tetapi, berkat perbaikan tentang
kebebasan beragama belakangan ini, pemerintah Amerika Serikat tidak lagi
menganggap Vietnam sebagai Country of Particular Concern (negara yang ikut campur dalam
bidang-bidang tertentu).
2.
SEJARAH MASUKNYA ISLAM
Para ahli sejarah berbeda pendapat
tentang penentuan tahun masuknya Islam ke Vietnam, namun mereka sepakat bahwa
Islam telah sampai ke tempat ini pada adab ke 10 dan 11 Masehi melalui jamaah
dari India, Persia dan pedagang Arab, dan menyebar antara jamaah cham sejak
adanya perkembangan kerajaan mereka di daerah tengah Vietnam hari saat ini, dan
dikenal dengan nama kerajaan Cham.
Tapi secara umum, Islam sudah mulai
menyebar di daratan IndoCina itu pada zaman dinasti Tang di Cina sekitar tahun 618-907 M.
Islam diperkenalkan oleh para saudagar muslm dunia yang berlayar sepanjang
kota-kota tepi pantai. Hal yang telah diketahui dengan pasti bahwa Islam telah
ada di Vietnam pada abad ke 11 M. Dengan ditemukannya 2 batu tulis (prasasti)
yang berasal dari muslim Campa bertanggal awal tahun 11M. Kerajaan
Campa ini telah berdiri sejak abad ke 2 sampai abad ke-17.
Kekuasaan
kerajaan ini tembentang sepanjang pesisir pantai yang sekarang terletak di
daerah Vietnam. Pada awal kedatangan Islam, hanya sedikit orang-orang Campa
yang memeluk Islam. Akan tetapi ada tahun 1607 dan 1676, seorang Raja Campa
memeluk agama Islam, yang menyebabkan banyak rakyatnya memeluk Islam juga.
Selama berabad-abad, sedikit demi sedikit wilayah Campa dikuasai oleh bangsa
Vietnam ( bangsa Vietnam ini awalnya bertempat tinggal didaerah pedalaman dekat
dengan daerah Cina), sampai pada akhirnya pada abad ke-17, seluruh kekuasaan
kerajaan Campa dikuasai oleh bangsa Vietnam. Akibat nya bangsa Campa tinggal di
daerah pesisir pindah kedaerah yang sekarang terkenal degan nama Trengganu
(Malaysia).
Pada
awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, namun peperangan dan penaklukan terhadap wilayah
tetangganya yaitu Kerajaan Funan
pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya India.Setelah
abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan
agama Islam ke dalam masyarakat Champa.
Di Vietnam ,umat muslim di pecah menjadi 3 ,yakni:
1.
Kelompok pertama: Muslim cham, yang merupakan kelompok mayoritas.
2.
Kelompok kedua: umat yang berasal dari suku-suku yang beragam, mereka adalah
pedagang muslim yang datang dari negeri-negeri yang beragam kemudian menikah
dari anak-anak negeri tersebut, seperti Arab, India, Indonesia, Malaysia dan
Pakistan, dan jumlah mereka merupakan kelompok terbesar dari jumlah umat Islam
secara keseluruhan.
3.
Kelompok ketiga: muslim dari warga Vietnam asli, dan mereka adalah warga
Vietnam yang masuk setelah berinteraksi dengan para pedagang muslim dan
komunikasi secara baik, seperti kampng Tan Buu pada bagian kota Tan An, baik
dengan masuknya warga kepada Islam atau mereka masuk Islam melalui pernikahan.
Terdapat
2 mahzab besar yang diikuti oleh muslim di Vietnam,yakni:
1.
Mazhab Sunni tersebar diseluruh
penjuru negara kecuali dua tempat antara Tuan Han dan Ninh Thuan, dan mayoritas
mereka menganut mazhab Syafi’i.
2.
Mazhab Bani tersebut di daerah Ninh
Thuan dan Binh Thuan, dan mazhab ini tidak banyak dikenal oleh umat Islam di
dunia; karena memiliki ciri khusus domistik dan memiliki pengaruh kuat warisan
dari India yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
D.
LAOS
1.
NEGARA LAOS
Laos adalah salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang berbatasan dengan
Myanmar dan Cina di sebelah barat laut, Vietnam di timur, Kamboja di selatan,
dan Thailand di sebelah barat. Dari Abad ke-14 hingga abad ke-18, negara ini
disebut Lan Xang atau Negeri Seribu Gajah.
Beribu kota Vientiane, Laos dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem
pemerintahan komunis yang masih tersisa di dunia. Mayoritas penduduknya
merupakan pemeluk Buddha Theravada.Karena itu, tak mengherankan kalau Laos
merupakan negara dengan penduduk Muslim terkecil di Asia Tenggara.
2. PENGUNGSI
KAMBOJA
Laos merupakan salah satu negara yang kaya dengan keberagaman etnis. Saat ini,
jumlah penduduk Laos mencapai 6,2 juta jiwa. Setengah dari populasi penduduk
Laos berasal dari etnis Lao atau yang dikenal masyarakat lokalnya sebagai Lao
Lum. Selain mendominasi dari segi jumlah penduduk, mereka juga mendominasi
pemerintahan dan komunitas masyarakat di Laos.
Mereka yang berasal dari etnis ini memiliki hubungan kekerabatan dengan
penduduk kawasan timur laut Thailand.Mereka berasal dari dataran rendah Mekong
yang hidup mendominasi di Vientiane dan Luang Prabang.Secara tradisional,
mereka juga mendominasi pemerintahan dan masyarakat Laos.
Keberagaman etnis ini juga tampak pada komunitas Muslim di sana. Muslim Laos
didominasi oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan juga Muslim
Kamboja.Khusus untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi dari rezim
Khmer.Mereka melarikan diri ke negara tetangga mereka, Laos, setelah pemimpin rezim,
Pol Pot, menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Kamboja Cham Muslim dari
tanah Kamboja.
Sebagai pengungsi, kehidupan mereka terbilang miskin.Selain itu, mereka
mengalami trauma akibat pengalaman hidup di bawah tekanan rezimKhmer sejak
1975.Semua masjid di Kamboja dihancurkan.Mereka juga dilarang beribadah atau
berbicara dalam bahasa Kamboja dan banyak di antara mereka dipaksa untuk
memelihara babi.
Sejarah pahit mengiringi kepergian Muslim Kamboja ke Laos.Mereka dipaksa makan
rumput, sementara satu-satunya daging yang mereka dapatkan dari tentaraKhmer
hanyalah daging babi yang diharamkan oleh Islam.
Beberapa orang Kamboja, seperti mereka yang tinggal di Vientiane, kemudian
melarikan diri dari kampung halamannya. Sementara itu, sisanya berhasil
bertahan dengan cara menyembunyikan identitas etnis mereka dan juga
keislamannya. Dari seluruh populasi Muslim Kamboja, diperkirakan tujuh puluh
persennya tewas akibat kelaparan dan pembantaian.
Kini, di Laos, diperkirakan ada sekitar 200 orang Muslim asal Kamboja. Mereka
memiliki masjid sendiri yang bernama Masjid Azhar atau yang oleh masyarakat
lokal dikenal dengan nama Masjid Kamboja. Masjid ini berlokasi di sebuah sudut
di distrik Chantaburi yang berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat kota
Vientiane. Sebagai sebuah tempat ibadah, bangunan Masjid Kamboja ini memang
terlihat sederhana sekali.Sebagian bangunan dinding masjid tampak belum selesai
dipasang karena kendala pendanaan.
Meski berjumlah sangat sedikit dan tergolong miskin, mereka teguh memegang
agama.Umumnya, mereka adalah penganut Mahzab Syafii yang berbeda dengan
komunitas Asia Selatan dan Di Vientiane menganut mahzab Hanafi.
3. SEJARAH MASUKNYA ISLAM
Agama Islam pertama kali masuk Laos melalui para pedagang
Cina dari Yunnan.Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke
Laos, namun juga ke negara tetangganya, sepertiThailand dan Birma (Myanmar saat
ini). Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para pedagang asal Cina ini dikenal
dengan nama Chin Haw.
Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah
beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tinggal di dataran tinggi dan
perbukitan.Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan.
Dari para pedagang tersebut, kemudian
umat Islam di Laos berkembang dengan membangun tempat ibadah, seperti
mendirikan masjid di negara Laos20. Sebelum
Islam masuk, sebenarnya telah ada etnis lain yang beradaptasi di negara Laos,
seperti etnis Lao atau yang dikenal sebagai etnis Lao Lum, etnis tersebut yang
mendominasi dari kuantitas jumlah penduduk serta selalu mendominasi dalam hal
komunitas masyarakat dan dalam aspek pemerintahan.
Islam memasuki kebanyakan wilayah Asia
selama abad pertama Hijriah. Inti komunitas muslim pertama dibangun oleh para
pedagang Arab dan Persia, terutama para pelaut dari Arabia Selatan.
Kenyataannya pengaruh Saudi Arabia Selatan tampak bahwa semua komunitas muslim
di Lautan India dan lebih jauh lagi dari Afrika Timur sampai ke Indo-China
pengikut mazhab syafi’i yang menjadi mazhab terpenting di Arabia Selatan21.Lebih jauh, banyak komunitas minoritas di
negara-negara Asia kenyataannya dulu merupakan negara-negara muslim merdeka
yang digabungkan secara paksa ke dalam entitas non-muslim yang lebih besar.
Lebih dari itu, orang-orang muslim dianiaya di banyak negara Asia. 22Dari perjalanan sejarah, umat muslim
di Asia Tenggara rata-rata mencapai setengah abad terlepas dari empayer
kolonial. Berdasarkan hitungan
waktu, tentunya telah banyak peristiwa yang disaksikan oleh umat muslim Asia
Tenggara sebagai suatu pengalaman empiris yang memiliki makna tersendiri bagi
kehidupan masa depan.23
Dari data berbeda, negara-negara
Asia (yang bukan Arab) telah mengenal Islam sejak masa awal munculnya, melalui
penaklukan-penaklukan besar yang telah dimulai pada masa khulafaur Rasyiddin.
Kemudian berlanjut di masa Umayyah, hingga sampai ke negeri yang berada di
belakang dua sungai dan negeri Sind. Penaklukan-penaklukan besar ini terjadi
pada masa al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715M). Dia telah menaklukan
negeri yang berada di belakang dua sungai pimpinan Qutaibah bin Muslim di
tengah penaklukan negeri Sind di bawah pimpinan panglima Muhammad Ibnul-Qasim.
Ketika
melihat latar belakang sejarah negara Laos, maka akan ditemukan pemahaman bahwa
negara Laos dahulu berbentuk kerajaan yang dikelola oleh kerajaan Nanzhao,
kemudian diteruskan kembali oleh kerajaan Lan Xang pada abad ke-14 hingga
berkuasa sampai abad ke-18 dan sempat menguasai wilayah Thailand pada waktu itu,
sempat juga wilayah kerajaan ini dikuasai oleh negara Perancis, serta akhirnya
dikuasai juga oleh Jepang, yang kemudian memberikan kemerdekaan kepada kerajaan
Laos pada tahun 1949.
Memahami
peta politik Islam di Asia Tenggara tidak terlepas dari berbagai macam
perkembangan yang terjadi di kawasan tersebut dalam membentuk suatu negara
modern. Kajian ini adalah gambaran dalam mencerna pemahaman-pemahaman yang
terjadi di ruang lingkup Asia Tenggara, khususnya mengenai peran dari politik
Islam. Dalam bagian lain, politik Islam di Asia Tenggara juga mencerminkan
beberapa aspek pola dinamis dari beragamnya perkembangan pemikiran Islam yang
menyebar, sehingga Islam di dalam negara pada kawasan Asia Tenggara memiliki
corak yang berbeda ketika bersentuhan dengan dasar-dasar negara tersebut.
Pembahasan
politik Islam Asia Tenggara tidak akan mendapatkan sesuatu yang lengkap tanpa
melibatkan peran kajian sejarah Islam di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut
juga menguatkan penilaian bahwa Islam mampu di kemudian hari menjadi sebuah
kekuatan politik yang di bawa oleh pemeluknya dalam melakukan sebuah proses
politik.
Negara Laos
dipilih berdasarkan peranan dari umat Islam di kawasan negara tersebut yang berbeda dengan
negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Dari dasar perbedaan ini, seperti
jumlah umat Islam yang sangat rendah dibanding dengan negara-negara lain
sehingga menimbulkan rangsangan untuk mengkaji lebih jauh peranan dari umat
Islam pada tahap politik Islam di Asia Tenggara.
Di negara Laos, pihak komunis memang
sangat dominan, sebab hal tersebut tidak terlepas dari sejarah bahwa negara
Laos pernah didukung oleh Uni Soviet dan negara tetangganya, yaitu Vietnam
dalam upaya mencari kemerdekaan, hingga akhirnya kaum komunis Pathet Lao diberi
dukungan yang sangat besar oleh dua negara tersebut, yaitu Uni Soviet
danVietnam dalam mencapai kemerdekaannya25. Dengan demikian, Laos mendapat kemerdekaannya dengan
mengganti nama negara resmi sebagai Republik Demokratik Rakyat Laos.
Dari pembahasan ini, sebenarnya
tidak ada unsur-unsur umat Islam dalam membantu kemerdekaan di negara Laos. Hal
tersebut bukan karena umat Islam tidak berkenan, namun harus diingat bahwa
Islam adalah agama pendatang dan belum mencapai pola adaptasi yang baik di
kawasan tersebut sehingga umat Islam pada waktu itu hanya meningkatkan peran
dakwah dan ekonomi, sehingga tidak terlibat dalam hal seperti itu. Hal tersebut
juga menjadi pembenaran karena umat Islam pada waktu itu tidak mendapat tempat
di kalangan etnis asli negara Laos, sehingga etnis asli negara Laos mendominasi
hal tersebut.
Di Asia
Tenggara, orang Islam sebagai penduduk mayoritas hanya di Indonesia, Malaysia
dan Brunei. Sedangkan di Thailand, Filipina dan Singapura, orang-orang Islam
menjadi minoritas. Bahkan di Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar, jumlah
penduduk muslim sangat sedikit. Dengan gambaran seperti itu, akar persoalan
orang Islam di masing-masing negara juga berbeda.
a. Islam
dan Komunitas Politik
Umat Islam di negara Laos memang
ada, namun jumlahnya tidak terlalu banyak, hal ini bahkan sangat sedikit
dibanding dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Dalam kalkulasi
angka terdapat klasifikasi komunitas politik yang mempuntayi jumlah kuantitatif
terbanyak adalah mereka yang beragama Budha Theravada sekitar 65%, yang terdiri
dari berbagai etnis di negara Laos, seperti etnis Mon-Khmer, etnis Lao,
Khadai, Austro Asiatik, dan berbagai keturunan campuran dari negara
Thailand dan negara Vietnam. dan 15 %-nya adalah orang-orang Thai dengan 10 %
sisanya merupakan suku-suku daerah perbukitan. Dari umat Islam sendiri hanya sekitar
0,01% dari jumlah penduduk negara Laos yang berjumlah 6,5 juta orang. Selain
itu, pihak Kristen mendapat sekitar 1,3% dan lainnya, seperti kepercayaan
animisme dan baha’i sekitar 33,6%27.
b. Islam dan Konstitusi
Negara Laos mengikuti konstitusi
baru pada tahun 1991 sehingga pada tahun berikutnya mengadakan pemilihan umum
untuk memilih 85 kursi Dewan Nasional yang para anggota-anggotanya dipilih
secara rahasia untuk masa jabatan selama 5 tahun. Di dalam konstitusi Laos
sebenarnya menjamin dan menghormati kebebasan berkeyakinan dan beragama, hal
tersebut terlihat ketika banyak kejadian tentang penistaan terhadap suatu
agama, maka dapat diselesaikan dengan baik. Dasar dari konstitusi ini ada di
bab 3 Pasal 23 tentang kewarganegaraan konstitusi negara Laos yang berbunyi
Pasal 22 yang berbunyi semua warga negara Laos sama di depan hokum, terlepas
dari apapun kepercayaan, etnis, status sosial dan ekonomi.
c. Islam dan
Tipe Rezim
Sebenarnya dalam konstitusi negara
Laos terdapat makna bahwa semua kekuasaan berada di tangan rakyat, namun dalam
kenyataan prakteknya tidak demikian. Sistem pemerintahan yang dipakai oleh Laos
adalah sistem parlementer, dimana ada seorang presiden dan perdana menteri.
Saat ini yang menjabat Presiden adalah Choummaly Sayasone dan Perdana Menteri
adalah Thammavong Thongsing. Dapat diketahui bahwa tipe rezim dari negara Laos
ini adalah sosialis-komunis yang dianut ketika pada waktu terjadi
pra-kemerdekaan yang dibantu oleh Uni Soviet dan Vietnam. Setiap pemberontakan
di negara Laos selalu ditekan oleh rezim yangbbersangkutan, dengan begitu
sangat kecil kemungkinan para pemberontak dapat mendominasi.
d. Islam dan
Pemerintahan (kebijakan)
Pemerintahan yang ada di negara Laos
mengikuti pemerintahan yang ada di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara,
namun dalam parkteknya juga berbeda. Di dalam sistem pemerintahannya dikenal
dengan Trias Politica yang kemudian berkembang lembaga eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Ketiga lembaga ini yang kemudian mengambil peran dalam menetukan
kebijakan yang terjadi di negara Laos, namun harus didingat bahwa setiap
kebijakan memang harus disetujui oleh kepala pemerintahan. Dalam konstitusi
tertulis dari negara Laos disebutkan bahwa pemerintah adalah organisasi
adminitrasi dari negara yang bertugas mengemban tanggung jawab dari rakyat.
Selanjutnya, dalam bagian lainada juga lembaga peradilan yang bertugas
mengadili setiap kebijakan-kebijakan yang keliru. Berikut adalah tugas-tugas
dari pemerintahan negara Laos berdasarkan konstitusi, antara lain adalah:
1) Untuk
melaksanakan konstitusi, hukum dan resolusi dari Majelis Nasional serta
keputusan negara dan bertindak.
2) Untuk
menyerahkan rancangan undang-undang kepada Majelis Nasional, draft keputusan
dan bertindak kepada Presiden negara.
3) Untuk
memetakan rencana strategis pada pembangunan sosial-ekonomi dan anggaran negara
tahunan dan menyerahkannya kepada Majelis Nasional.
4) Untuk
mengeluarkan dekrit dan keputusan tentang pengelolaan pertahanan nasional
sosial-ekonomi, ilmiah dan teknis bidang dan keamanan.
5) Untuk
mengatur, membimbing dan mengawasi fungsi organisasi manajerial dari seluruh
cabang dan organisasi administrasi lokal.
6) Untuk mengatur dan mengawasi kegiatan pertahanan
nasional dan keamanan.
7) Untuk
menandatangani perjanjian dan kesepakatan dengan negara-negara asing dan
pedoman pelaksanaannya.
8) Untuk
menangguhkan atau mencabut keputusan, instruksi dari kementerian,
organisasi-organisasi pelayanan-setara, organisasi yang melekat pada
pemerintah, dan organisasi administratif lokal jika mereka bertentangan dengan
undang-undang.
9) Untuk
melaksanakan hak-hak lain dan melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh
hokum.
e. Islam dan
Parlemen
Negara Laos ini menganut sistem
parlemen satu kamar yang dikenal Dewan Nasional yang bertugas membentuk kabinet
dalam pemerintahan negara Laos. Dengan cara seperti ini seluruh kabinet dipilih
berdasarkan kehendak dari partai tunggal yang ada di negara Laos. Sampai saat
ini, Dewan Nasional terdiri dari 115 anggota dewan yang berasal dari Partai
Komunis Rakyat Laos. Dari 115 anggota Dewan Nasional yang duduk, diantaranya
terdapat 14 orang yang mengurus Partai Komunis di tingkat pusat, sedangkan
hanya dua orang yang ada di Dewan Nasional yang berada pada posisi netral.
Dengan begitu, umat Islam di negara Laos sangat sulit menembus Parlemen.
f. Islam dan
Partai Politik
Negara Laos menganut komunis yang
dibawa pada waktu pra-kemerdekaan, dengan begitu sistem kepartaian juga menjadi
sistem partai tunggal dan partai politik yang diakui oleh pemerintahan negara
Laos adalah Partai Revolusioner Rakyat Laos (PRRL). Dengan demikian, umat Islam
dalam menjalankan aktivitas politknya tidak dapat dengan membuat partai Islam,
oleh karena itu cara yang baik adalah dengan terlibat di partai tunggal
tersebut.
g. Islam dan
Civil Society
Di negara Laos terdapat beberapa
lembaga sosial yang bertugas dalam berbagai program kemanusiaan di
tengah-tengah kehidupan perpolitikan pada negara Laos, diantaranya adalah:
1) Lao Women
Union (LWU), yang bekerja pada pengembangan keahlian kaum perempuan dalam
mengurangi kemiskinan, hal tersebut juga kemudian digunakan sebagai sarana
studi gender.
2) Lao
Natioanl Front For Rekonstruksi (LNFFR), yang bekerja untuk membangun
solidaritas nasional dan membantu kelompok minoritas.
3) Lao
People’s Revolutionary Youth Union (LPRYU), yang bertugas memberikan pelatihan
ketenagakerjaan terhadap para pemuda.
4) Lao Front
Trade Union (LFTU), yang berugas menyalurkan aspirasi kaum buruh dan hak-hak
para pekerja.
h. Islam dan
Perilaku Massa
Perilaku massa yang terjadi ketika
semua tindakan represif yang hadir memberikan sebuah penekanan bahwa ada beberapa gerakan-gerakan yang radikal
dalam memprotes tindakan yang terlalu kuat dari pemerintah. Tindakan seperti
ini datang dari
berbagai kelompok yang tidak terlibat dalam sistem pemerintahan, akan tetapi di
luar dari sistem pemerintahan. Namun, dalam hal umat Islam mengenai perilaku
massa masih snagt kecil untuk mempengaruhi karena berbagai kekurangan dan
kelemahan yang terjadi.
i. Analisa Prospek Islam di Laos
Seperti yang telah dijelaskan bahwa
sebelum Islam datang sebenarnya telah ada berbagai etnis di wilayah Laos, yang
terdiri dari suku asli dan pendatang. Pada aspek seperti ini, akan menjelaskan
bahwa agama islam memang agama pendatang yang secara langsung masuk ke dalam
wilayah Laos dengan berbagai bentuk saluran, termasuk saluran
perdagangan/ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, agar memberikan kesan
analisa yang terperinci, maka akan dibagi ke dalam beberapa segi pendekatan
dalam menganalisa, yaitu:
1. Analisa mengenai kekuatan Islam
Walaupun Islam masuk ke dalam
wilayah Asia Tenggara, khususnya Laos sebagai agama pendatang, namun harus
diingat bahwa dari factor sejarah, Islam mampu memberikan pemahaman lebih
terhadap pola kehidupan universal, dari hal tersebut dapt diterjemahkan bahwa
salah satu kekuatan Islam terlihat pada dirinya yang terbuka/inklusif terhadap
berbagai perkembangan yang terjadi sehingga Islam mampu menyesuaikan diri tanpa
dibentuk oleh pengaruh dari luar Islam. Selanjutnya, hal tersebut ditopang
dengan konstitusi Laos yang memberi jaminan terhadap kebebasan beragama dan
penjaminan, hal ini memberikan justifikasi bahwa Islam mampu, khususnya umat
Islam menyebar-luaskan dakwah islam secara terbuka dalam media pendidikan sehingga
dapat memberikan pemahaman kelompok non-Islam tentang Islam dan memperkuat
basis dari umat Islam sendiri dalam memajukan Islam kultural.
Salah satu aspek yang terpenting
dalam memaksimalkan hal tersebut adalah dengan cara penguatan basis Islam kultural,
yaitu membudayakan Islam ke tengah-tengah masyarakat tanpa melihat kelompk
apapun. Hal ini jelas menjadi kekuatan Islam karena penguatan basis Islam
kultural akan sulit terdeteksi oleh rezim yang terlalu represif terhadap
gerakan Islam yang terlalu vokal dan militan/radikal. Dengan begitu, Islam
lewat media penguatan Islam kultural dapat menjamin terhadap apapun yang umat
Islam perlukan dalam berbagai produk kebijakan. Dengan penguatan Islam kultural
pula yang didukung oleh konstitusi yang sedikit terbuka akan mampu merambah
ranah politis, seperti memungkinkan umat Islam masuk ke ranah pemerintahan atau
non-muslim yang mempunyai kedekatan erat dengan basis Islam kultural dan
mempunyai program yang Islami dapat masuk ke dalam pemerintahan sehingga kebijakan
selanjtnya mampu memberikan kontribusi yang baik bagi keberlangsungan umat
Islam.
2. Analisa mengenai kelemahan Islam
Dalam menganalisa hal ini, dapat
dijelaskan bahwa ada banyak kelemahan yang terdapat dalam umat Islam di Laos,
seperti dalam segi kuantitas uamt Islam sangat rendah, yaitu hanya 0,01 dari
6,5 juta penduduk negara Laos, hal ini menun jukkan bahwa umat Islam di laos
menjadi penduduk yang sangat minoritas disbanding yang lain. Di samping itu,
ketika melihat dari tipe rezim pun selalu dipegang oleh komunitas yang berkuasa
sehingga ini mengakibatkan umat Islam selalu terpinggirkan oleh
kebijakan-kebijakan yang langsung dari rezim tersebut.
Setelah itu, ketika dilihat dari
segi yang berbeda, yaitu pemerintahan dan parlemen, umat islam sungguh mendapat
perlakuan yang diskriminatif, sebab anggota dari pemerintahan dan parlemen
selalu dipilih oleh pihak dari partai yang berkuasa, yaitu partai tunggal yang
menganut paham komunis, dimana dalam hal pengkaderan selalu mengesampingkan
pihak-pihak dari umat islam dan lebih condong ke kader yang sehaluan dengan
partai tersebut.
Kelemahan tersebut bertambah berat
ketika di negara Laos hanya diterapkan sistem kepartaian tunggal, artinya tidak diperbolehkan partai politik Islam
sehingga untuk menuju kepada kekuasaan umat Islam harus mampu berada pada
partai tunggal tersebut. Dari berbagai kelemahan tersebut yang paling penting
adalah, umat Islam dilemahkan oleh rezim dan umat Islam sendiri belum mampu
bangkit dalam membentuk kekuatan baru sebagai peningkatan basis internal dari
umat Islam sendiri di negara Laos.
3. Peluang dan Tantangan
Dilihat dari berbagai kekuatan dan
kelemahan Islam, khususnya umat Islam di negara Laos. Peluang umat Islam berada
pada tahap penguatan internal atau dalam bahasa lain adalah menimbulkan Islam
kultural di negara Laos, setelah seperti itu maka peluang selanjutnya adalah
lewat pemaksimalan konstitusi yang terbuka bagi perkembangan Islam di negara
Laos. Islam di negara Laos harus menjadi agama yang toleran dan terbuka, dan
tidak menutup diri, dengan strategi tersebut diharapkan mampu memberikan
pemahaman lain bagi perkembagan Islam di negara Laos.
Selain itu, tantangan yang harus
dihadapi juga lebih banyak, yaitu kondisi dari sistem (kepartaian,
pemerintahan, dsb.), yang terjadi di negara Laos yang mempersempit ruang gerak
Islam secara keseluruhan serta rezim yang bersangkutan yang dapat saja secara
langsung atau tidak langsung memberikan tindakan represif bagi perkembangan
Islam di wilayah tersebut. Selanjutnya tantangan lain adalah adanya
fenomena-fenomena globalisasi yang dapat saja merenggut eksistensi Islam
ditengah-tengah arus globalisasi, msekipun tidak jarang megundang
kesalah-pahaman dan konflik-konflik internasional.
Langganan:
Postingan (Atom)