Selasa, 07 Oktober 2014

makalah dinasti Umayyah




MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM
DINASTI UMAYYAH (661-750M)
DOSEN PEMBIMBING: MARYDI, S.Hi, M.S.I




OLEH:
CHARIRIL LATIF
TANTINAH
EKO SUDARNO


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SULTHAN SYARIF HASYIM (SSH)
TAHUN AKADEMIK 2014/2015




Kata pengantar


ASSALAMU’ALAIKUM

Alhamdu lillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kita ilmu pemahaman  terhadap agama Islam  yang  mana ini adalah sebaik-baiknya nikmat, yang tidak ada bandingnya.
Sholawat dan salam  kita hadiah kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan perantara beliau kita dapat memetik manisnya ilmu.
Pemakalah hanyalah orang-orang yang sedang belajar, jadi dalam suatu pembelajaran  terjadi kesalahan itu wajar. Tapi kami pun pada dasarnya sedang berusaha sebagai mana perintah guru atau pun dosen. Jadi apabila dalam tugas kami yang masih banyak kesalahan ini mohon diperbaiki, dan dikoreksi.
Mungkin itulah sepatah kata yang dapat kami sampaikan kekurangan adalah hal wajar dalam proses pembelajaran dan kami mohon dapat dimaklumi.
                        WASALAMU’ALAIKUM

                                                                                                Hormat  kami

                                                                                                ( Pemakalah )








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………            I
DAFTAR ISI………………...…………………………………………………....           I
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..            1
            A. LATAR BELAKANG………………………………………………....          1
            B. RUMUSAN MASALAH………………………………………….... 2
C. TUJUAN……………………………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….           4
1.      Pendirian Dinasti Umayyah …………………………………………          4
a.       Asal Mula Dinasti Umayyah ……………………………………          4
b.      Pemimpin-Pemimpin Dinasti Umayyah ………………………..          7
2.      Pola Pemerintahan Dinasti Umayyah………………………………            8
a)      Organisasi Politik …………………………………   9
b)      Organisasi Tata Usaha Negara …………………….  9
c)      Organisasi Keuangan ……………………………… 9
d)     Organisasi Ketentaraan (An-Nizam Al-Harby)….     10
e)      Organisasi Kehakiman …………………………..     10
3.  Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah…………………………      12
BAB III PENUTUP………………………………………………………   15
DAFTAR PUSTAKA ……………………….……………………………  16





BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Sejarah peradaban islam yang sudah terlahir sejak dilahirkannya Nabi Muhammad SAW di muka bumi bahkan sejarah para nabi atau orang-orang shaleh yang telah ada sebelum Nabi Muhammad SAW, membuat kita hidup dalam bayangan sejarah. Karena sejarah memiliki nilai penting dalam lingkaran kehidupan manusia. Pengalaman adalah guru yang tidak pernah marah itu sebuah kalimat yang punya arti kalau sebuah sejarah dapat menjadi sebuah pelajaran kita dalam kehidupan ini. Dan itu tidak akan bisa dilepaskan dari kehidupan manusia itu sendiri.
halnya sejarah yang menceritakan peradaban islam pada saat Rasul diutus, dan para sahabat, tabi’in, dan juga para ulama’. Semangat perjuangan mereka dalam menegakkan agama  islam mestilah dapat  kita petik pelajaran yang berharga.
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.[1]
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
Muawiyah adalah seorang khalifah yang ikut andil dalam bagian sejarah kejayaan islam masa itu. Mesti kita, sedikit banyaknya perlu kita kaji kesuksesannya dalam memimpin umat islam pada saatnya. Supanya kita dapat mengambil pelajaran.
2.      Rumusan Masalah
Dapatkah kita mengetahui sejarah yang sudah lama berlalu? Kalau sejarah kemerdekaan negri ini mungkin baru 69 tahun. Tapi bagai mana sejarah Dinasti Umayyah yang sudah lebih dari 13 abad? Mungkinkah kita dapat mempelajarinya? Apa yang terjadi pada saat Dinasti Umayyah berkuasa?.


3.      Tujuan
Mempelajari sebuah sejarah mesti ada yang ingin kita cari dari cerita sejarah itu, oleh sebab itu kami, pemakalah ingin sedikit menyajikan sejarah kejayaan Dinasti Umayyah  pada zamannya. Dan dapat kita ambil manfaat dari mempelajarinya.


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pendirian Dinasti Umayyah
A.    Asal Mula Dinasti Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.

Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah[2] ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu  dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M[3]. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib  sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam  agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan  tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra[4] dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman  bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.[1]
 
B.     Pemimpin-Pemimpin Bani Umayyah       
      Setelah masa khalifah al-Rasyid berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Dinasti Umayyah. Dengan khalifah pertamanya Muawiyah bin Abi Sofyan.[2] pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnyaUtsman bin Affanpertempuran Shiffinperang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij danSyi'ah, dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
      pemerintahannya di Madinah, dipindahkan oleh Mu’awiyah ke Damaskus.[3]  Mu’awiyah telah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya dan menyiapkan daerah Syria sebagai pusat kekuasaannya dikemudian hari.[4] Dinasti ini berkuasa selama 90 tahun dengan 14 orang khalifah:
1.      Muawiyah bin Abu Sofyan                 661M s.d 680M
2.      Yazid bin Muawiyah                          680M s.d 683M
3.      Muawiyah bin Yazid                          683M s.d 684M
4.      Marwan bin Hakam                            684M s.d 685M
5.      Abdul Malik bin Marwan                   685M s.d 705M
6.      Walid I bin Abdul Malik                    705M s.d 715M
7.      Sulaiman bin Abdul Malik                  715M s.d 717M
8.      Umar bin Abdul Aziz                         717M s.d 720M
9.      Yazid bin Abdul Malik                       720M s.d 724M
10.  Hisyam bin Abdul Malik                    724M s.d 743M         
11.  Walid II bin Yazid II                          743M s.d 744M
12.  Yazid III                                             744M s.d 745M
13.  Ibrahim bin Walid II                           745M s.d 747M
14.  Marwan II bin Muhammad II             747M s.d 750M
Diantara empat belas khalifah DinastiUmayyah hanya lima khalifah ang menduduki jabatan dalam waktu yang cukup panjang dan memberi pengaruh pada perkembanga islam, yaitu;
1.      Muawiyah bin Abu Sofyan 
2.      Abdul Malik bin Marwan
3.      Walid bin Abdul Malik
4.      Umar bin Abdul Aziz, dan
5.      Hisyam bin Abdul malik
            Dengan berdirinya daulah Umayyah, maka system politik dan pemerintahan berubah.pemerintahan tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun temurun. Seorang khalifah tidak lagi harus sekaligus pemimpin agama sebagaimana khalifah pada sebelumnya. Urusan agama diserahkan pada ulama, dan ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh khaifah.[5]
 
2.      Pola Pemerintahan Dinasti Umayyah
Pada masa Dinasti Umayyah kemajuan dibidang pemerintahan, antara lain dalam organisasi politik, tata usaha Negara, keuangan, ketentaraan dan kehakiman.
a)      Organisasi Politik
Organisasi politik dan administrasi pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah, meliputi jabatan Khalifah (kepala Negara), Wizarah (kementerian), Kitabah (keseketariatan), dan Hijabah (pengawal pribadi).
Kepala Negara memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan jabatan-jabatan dan jalannya pemerintahan. Wizarah, memiliki tugas dan fungsi membantu atau mewakili khalifah dan melaksanakan tugasnya sehari-hari. Kitabah bertugas membantu kelancaran pekerjaan Negara. Oleh sebab itu, dibentuklah dewan seketariat, yaitu dewan al-Kitabah. Lembaga ini membawahi Kathib ar-Rasa’il,yaitu seketaris dalam bidang keuangan. Katib al-Jund, yatu seketaris militer. Katib asy-Syurtah, yaitu seketaris bidang kepolisian. Dan Katib al-Qodi, yaitu seketais dalam bidang kehakiman.
b)      Organisasi Tata Usaha Negara
Organsasi tata usaha Negara pada masa Dinasti Umayyah, dibagi menjadi empat departemen, yatu:
1.      Diwan al-Kharraj
Yaitu departemen pajak yang bertugas mengelola pajak tanah di daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Dinasti Umayyah.
2.      Diwan Ar-Ras’il
Yaitu departemen pos yang berkewajiban menyampaikan berita atau surat dari dan ke daerah-daerah kekuasaan Dinasti Umayyah.
3.      Diwan Al-Musytagillat
Yaitu departemen yang bertugas menangani berbagai kepentingan umum.
4.      Diwan Al-Khatim
Yaitu departemen yang menyimpan berkas-berkas atau dokumen-dokumen penting Negara.
c)      Organisasi Keuangan
Dinasti Umayyah tetap mempertahankan dan memakai lembaga keuangan, sebagaimana pada masa khulafaur Rasidin. Sumber-sumber keuangan pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah berasal dari pajak tanah (kharraj) dari daerah-daerah taklukannya. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, kharraj dikenakan pada setiap penduduk yang berada dibawah kekuasaan Dinasti Umayyah. Tujuannya untuk mengatas kerisis keuangan Negara yang banyak berkurang pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
d)     Organisasi Ketentaraan (An-Nizam Al-Harby)
Organisasi ketentaraan pada masa Dinasti Umayyah merupakan kelanjutan dari upaya yang telah dibuat oleh Khulafaur Rasyidin. Jika pada masa pemerintahan sebelumnya, siapa saja boleh menjadi tentara. Pada masa Dinasti Umayyah , yang boleh menjadi tentara hanya orang-orang Arab atau keturuanannya.
Perkembangan lain yang yang terjadi pada masa Dinasti Umayyah adalah dibentuknya angkatan laut, selain angkatan darat yang sudah ada sejak lama. Oleh karena itu, pada Dinasti Umayyah terdapt sekitar 60.000 prajurit tetap dan sukarelawan.
e)      Organisasi Kehakiman (An-Nizam Al-Qadi)
Pada masa Dinasti Umayyah, kekuasaan politik telah dipisakan dengan kekuasaan pengadilan. Kekuasaan kehakiman pada masa itu dibagi menjadi tiga badan, yaitu:
Ø  Al-Qadhaa’
Yaitu badan yang bertugas yang menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan Negara.[6]
Menurut Abu Bakr Jabi yang dikutip Dr. Alaidin Koto, M.A. dalam bukunya Sejarah Peradilan Islam “Qadhi mempunyai tugas-tugas, yaitu:
1)      Memutuskan perkara semua pihak yang berpekara dalam semua tuduhan.
2)      Mengalahkan orang zalim, membantu orang yang berhak, membantu orang  yang dizalim dan memberihak kepada pemiliknya.
3)      Melaksanakan hudud atau ponis dalam darah dan luka.
4)      Menangani pernikahan, talak, nafkah dan sebagainya.
5)      Mengelola harta orang yang belum dewasa, seperti anak yatim, orang gila,orang yang tidak jelas perginya dan orang yang mendapat hukuman al-hajru.
6)      Memikirkan kemaslahatan-kemaslahatan umum yang terjadi di wilayah kerajaan, seperti jalan-jalan, fasilitas umum dan lain-lain.
7)      Menegakkan amar makruf dan mewajibkan manusia melakukannya, melarang dari kemungkaran, mengubahnya serta menghilangkan bekas-bekas dari wilayah kerajaan.
8)      Menjadi imam shalat jum’at dan shalat hari raya.
Jadi al-Qadhaa’ merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping itu, badan ini juga mengatur intitusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.[7]
Ø  Al-Hisbah
            Yaitu badan yang bertugas manyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan-tindakan cepat. Dan merupakan tugas al-Muhtasib (kepala Hisbah). Menurut Al-Syaqathi dalam buku Fi Adaab al-Hisbah, seperti yang dikutip oleh Pilip k. Hitty bahwa tugas al-Muhtasib selain memeriksa takaran dan timbangan, serta ikut mengurusi kasus-kasus perjudiaan, seks amoral, dan busana yang tidak layak di depan umum.[8]

Ø  An-Nada Fil- Mazhalim
Yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding, semacam mahkamah agung di Indonesia. Lembaga ini juga mengadili para hakim dan pembesar Negara yang berbuat salah.

3.      Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah
Pada periode ini kawasan islam makin meluas, ajaran islam semarak dan menyelinap masuk ke hati rakyat. Islam sudah eksis di negeri Syam, Mesir, Sudan, Afrika Utara, Kepulauan di Laut Tengah, Andalusia , dan negeri-negeri lainnya. Perluasan dakwah dilakukan di tiga wilayah Asia Kecil dan Negeri Romawi, kawasan Afrika Utara dan Andalusia, dan Kawasan Sind dan Negeri di Seberang Sungai.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota BizantiumKonstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan BalkanabadBukharaKhwarezmia,Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai BalukhistanSind dan daerahPunjab sampai ke Multan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota SpanyolCordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti SevilleElvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang BordeauxPoitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tanganIslam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi SpanyolAfrika UtaraSyriaPalestinaJazirah ArabIrak, sebagian Asia KecilPersiaAfganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,TurkmenistanUzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.[9]




BAB III
PENUTUP
Bani Umayyah telah menyediakan kisah hebatnya. Kami pemakalah hanya dapat menyediakan apa yang ada. Makalah ini pastilah jauh dari kata sempurna, usaha yang kami lakukan sudah sampai titik batasnya. Karena kami baru memiliki ilmu yang pak dosen tahu sendiri letak kekurangannya.
Inilah sajian makalah dari kami bila masih banyak yang kurang. Kami selaku pemakalah meminta masukan berupa saran, kritik yang membangun atau ilmu apapun yang dapat menambah wawasan kami.
Sekian dari kami wassalam.


DAFTAR PUSTAKA
Koto, Alaidin. Sejarah Peradabaan Islam. (Jakarta: PT.Rajagrafindo persada, 2012).
Ilaihi, Wahyu,dan Hefni, Harjani, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana. 2007)
Khazanah sejarah kebudayan islam untuk kelas XII madrasah aliyah
gogle


[1] gogle
[2] Aladi Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2012), hal. 77.
[3] Wahyu Ilaihi, Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana. 2007),hal.109.
[4] Ibid No. 1

[5] Khazanah sejarah kebudayan islam untuk kelas XII madrasah aliyah

[6] Ibid no.4
[7] Ibid no.1  hal. 80.
[8] Ibid no. hal. 82.
[9] gogle


Tidak ada komentar: